Rabu, 27 April 2011

SILVIKULTUR JABON (Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq.)

Oleh :
MUH. RAMDIN TAHIR
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Faperta, Unhalu, Kendari)

1.     Deskripsi Umum
Berdasarkan klasifikasinya, jabon {Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq. Syn.  Anthochepalus chinensis (Lamk.)} termasuk ke dalam famili Rubiaceae (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon merupakan salah satu jenis asli Indonesia dan memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan karena jabon termasuk pohon cepat tumbuh,  dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, tidak memiliki hama dan penyakit yang serius, dan ketersediaan pengetahuan silvikulturnya cukup lengkap (Pratiwi, 2003).
Tinggi pohon jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang bebas cabang 30 m, diameter dapat mencapai 160 cm. batangnya lurus dan silindris,  bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Daunnya tunggal, panjang tangkai 1 ½ - 4 cm, helaian daun berbentuk ellips atau lonjong, kadang hampir bundar. Bunganya cukup besar, semacam bunga bongkol, diameter 4 ½ - 6 cm. Buah panjangnya 6 mm diliputi daun kelopak, bagian bawahnya agak lunak, berbiji banyak (Tantra, 1981 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).
Kayu jabon dapat dipakai untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom dan konstruksi darurat yang ringan (Martawijaya, 1989 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).

2.     Habitat dan Sebaran
Jabon memiliki sebaran alami yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenajung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Cina, dan Australia. Di Indonesia sendiri, jabon ternyata memiliki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Di Maluku, terdapat sebaran jabon jenis A. macrophyllus yang dikenal dengan sebutan jabon merah (Mansur dan Tuheteru, 2010).
Jenis ini umumnya tumbuh di tanah-tanah alluvial lembab di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Di samping itu jabon dapat tumbuh dengan baik di tanah liat, tanah lempung Podzolik coklat, tanah tuf halus atau tanah berbatu yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai kering dengan tipe curah hujan A sampai D menurut Schmidt dan Ferguson (1951), mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Martawidjaja, et al., 1989 dalam Pratiwi, 2003). Umumnya jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan dijumpai di dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit. Jabon juga dapat tumbuh secara alami di lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang memang kondisinya ekstrim, yaitu di tanah dengan pH yang rendah (pH 4) dan tidak subur, terendam, serta kondisi lingkungan yang sangat terbuka dengan suhu yang relatif tinggi. Jabon pun potensial sebagai alternatif dari tanaman sengon dan akasia yang telah lebih dahulu menjadi jenis utama tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon tumbuh di daerah beriklim basah – kering dengan rata – rata temperatur tahunan antara 21 sampai 26oC. Curah hujan tahunan antara 1500 mm sampai 5000 mm atau lebih. Jabon tahan musim kemarau sampai 3 bulan tanpa mengalami banyak kerusakan (Meyenfeld, dkk., 1978 dalam Sapulete dan Kapisa 1994).

3.     Perbenihan
   3.1    Pengadaan Benih
            3.1.1      Sumber Benih
           Di tempat tumbuh dimana pohon penghasil biji cukup tersedia, permudaan alam dari biji dapat di atur dengan cara membersihkan tanah di bawah pohon biji pada waktu buah sudah kelihatan matang. Biji-biji akan jatuh dan tumbuh di tempat yang telah dibersihan (Sapulete dan Kapisa, 1994)
           Benih (biji yang akan digunakan untuk produksi bibit) idealnya berasal dari pohon induk yang baik, yakni antara lain memiliki ciri berbatang lurus dan bulat dengan bebas cabang yang tinggi dan terbebas dari hama/penyakit (Mansur dan Tuheteru, 2010).          
            3.1.2      Biologi Reproduksi
Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni sampai Agustus. Buah mengandung biji yang sangat kecil, dengan jumlah biji kering udara 18 – 26 juta butir per kg. Sedangkan jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir per kaleng minyak tanah (Pratiwi, 2003).
           Jabon berbuah setahun sekali saat musim berbunganya, yakni pada bulan Januari – Juni dan akan masak pada bulan Maret – Juni dengan jumlah buah majemuk 33 buah per kg. Buah jabon berbentuk bulat dengan ukuran 4,5 – 6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang sangat banyak layaknya buah majemuk seperti keluwih/nangka yang berukuran kecil dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji. Setiap ruang biji tersebut berisi banyak biji (Mansur dan Tuheteru, 2010).

3.2   Penanganan Benih
3.2.1   Pengumpulan Benih : Bibit diperoleh dari buah yang sudah tua / masak yang diambil dengan cara memanjat dan memetiknya dari pohon atau dengan cara memungut buah yang sudah jatuh (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.2   Ekstraksi Benih : Buah-buah pilihan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam karung atau keranjang untuk dibawa ke tempat ekstraksi dan dihamparkan di atas lantai beralaskan plastik atau tikar. Jika buah akan dikirim ke lokasi yang jaraknya jauh dan memerlukan waktu beberapa hari, sebaiknya buah dicacah lalu dijemur terlebih dahulu selama 1 – 2 hari agar kering dan buah tidak busuk. Biji jabon dapat diekstrak dengan dua cara, yaitu melalui ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Dengan ekstraksi kering, kermurnian benih kurang dari 50% karena tercampur dengan serbuk dari daging buah. Selain itu, pada ekstraksi kering, sering kali sulit untuk membedakan antara biji dengan serbuk daging buah yang berukuran sama. Sementara itu, dengan ekstraksi basah, kemurnian benih bisa mencapai 100% dan biji dapat dilihat dengan jelas (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.3   Penyimpanan Benih : Secara teoritis, benih dapat disimpan selama kurang lebih setahun, yakni bila disimpan dalam wadah kantong plastik, di lemari pendingin, atau di tempat yang tertutup rapat dalam ruangan sejuk. Benih yang disimpan pada kondisi tersebut selama 9 bulan mempunyai daya berkecambah 1.234,5 kecambah/0,1 g, sedangkan benih yang disimpan selama 18 bulan daya kecambahnya 314/0,1 g. Namun, untuk hasil yang memuaskan, sebaiknya penyimpanan benih tidak terlalu lama, yakni tidak lebih dari tiga bulan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Dalam Sapulete dan Kapisa (1994) mengemukakan bahwa untuk mempertahankan viabilitas biji sebaiknya disimpan dalam kotak kedap udara dingin dan ditempatkan dalam suhu ruangan yang stabil. Biji juga dapat disimpan dalam freezer bertemperatur 3 – 5oC (untuk lama penyimpanan kurang dari 3 tahun) atau -4 sampai 10oC (untuk penyimpanan biji lebih dari 3 tahun).
3.2.4   Hama dan Penyakit Benih : Hama yang sering menyerang bibit di persemaian antara lain semut (fam. Formicidae), bekicot dan penyakit damping off oleh cendawan Fusarium spp., Rhizoctonia spp., dan Pythium spp. Sedangkan di lapangan hama jabon adalah rusa, banteng, rayap batang dan ulat kukuk (di akar), sementara sumber penyakit berasal dari cendawan Gloosperium anthocephali (mati pucuk) dan Margaraniopsis tocalis (gugur daun) (Pratiwi, 2003) dan Armillaria sp. (busuk akar) (Darwo, 1994). Menurut Nair (2000), salah satu hama yang menyerang tanaman jabon adalah serangga Margaronia sp.
3.2.5   Perlakuan Pendahuluan dan Perkecambahan : Biji-biji yang telah disimpan untuk jangka waktu lama (misalnya 2 bulan) lebih baik berkecambah di bawah cahaya matahari langsung. Ini dimaklumi karena biji jabon memang memerlukan cahaya matahari penuh untuk proses perkecambahan. Biji jabon mulai berkecambah pada hari ke 12 – 20 setelah penaburan. Persentase berkecambah dari biji segar yang langsung ditabur adalah rendah yaitu 25%; melalui stratifikasi dan ekstraksi kemudian disimpan selama 2 bulan di dalam kontainer kedap udara dapat meningkatkan persen kecambah hingga 90% (Sapulete dan Kapisa, 1994).

4.     Pembibitan
        4.1    Pengadaan bibit secara generatif
         Perbanyakan bibit secara generatif bisa dilakukan melalui biji. Media perkecambahan benih jabon berupa campuran pasir dan tanah halus (1:1) yang disterilkan dengan cara disangrai selama 2 jam atau disterilkan dengan fungisida berdosis rendah (50 ml/l air). Media disiram sampai jenuh dan ditaburi benih pada bak tabor. Dalam penaburan biji jabon, sebaiknya biji dicampur dengan pasir halus (1:10) agar benih tersebar merata. Setelah 3 – 4 minggu berkecambah bibit hasil penyemaian sudah bisa dipindahkan ke dalam polibag ukuran 10 cm x 15 cm atau 15 cm x 25 cm yakni saat bibit berukuran 3 – 5 cm atau telah memiliki daun empat lembar. Media polibag adalah campuran pasir : tanah : kompos  (2:7:1) dengan kisaran pH 4 – 5. Bibit yang harus disapih ditempatkan pada bedengan persemaian yang diberi naungan sekitar 65% dan secara berkala dikurangi intensitas naungannya. Pemupukan dilakukan setelah bibit berumur 2 minggu, yakni menggunakan pupuk NPK cair (5 g/l air) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
4.2    Pengadaan bibit secara vegetatif
Perbanyakan vegetatif  jabon dapat dilakukan dengan teknik stek pucuk dan stek batang serta kultur jaringan.
        4.3    Pengadaan bibit anakan alam
         Pengadaan bibit dari anakan alam dapat dilakukan dengan cabutan dan stump. Di tingkat lokal, khususnya pada tingkatan masyarakat yang masih belum mengerti teknik budidaya dengan benih, hingga saat ini masih banyak orang yang menggunakan cabutan anakan alami yang memang tumbuh di sekitar pohon induk atau terbawa air atau hewan seperti kelelawar (Mansur dan Tuheteru, 2010).

5.     Penanaman
5.1    Persiapan lahan, penyiapan lahan merupakan kegiatan yang sangat penting yang turut menentukan produktivitas tanaman jabon dalam jangka panjang. Kegiatannya meliputi pembukaan lahan, penentuan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon dan menebas semak belukar serta menyingkirkannya dari lahan penanaman. Penyiapan lahan berupa pembersihan dari semak belukar dan dibajak sebelum musim hujan antara bulan Mei sampai Agustus. Penyiapan lahan dapat dilakukan secara mekanis ataupun manual. Pengolahan tanah secara manual mampu memberikan hasil yang memuaskan, yaitu persentase pertumbuhan 98% (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.2    Penanaman, penanaman sebaiknya dilakukan di awal musim hujan, dan pada pagi hari pukul 07.00-11.00, dilanjutkan lagi pada sore hari pukul 14.00-17.00. Penanaman dilakukan setelah frekuensi hujan cukup tinggi dan tanah telah basah. Teknik menanam jabon yang benar, yakni dengan memasukkan tanah yang telah dicampur dengan kompos dan pupuk NPK ke lubang tanam, memadatkan media dalam polibag secara hati-hati, melepas polibag secara hati-hati, menanam bibit di lubang tanam dan memasang penyangga (Mansur dan Tuheteru, 2010).  Jarak tanam 3 x 2 m atau 5 x 5 m tergantung tujuan penanaman, murni atau tumpangsari dengan lubang tanam 30 x 30 x 30 cm atau 40 x 40 x 40 cm tergantung kondisi tanah (Listyanto, 2010). Penanaman jabon dapat dilakukan secara monokultur (lahan hanya digunakan untuk penanaman pohon jabon saja) atau dengan pola tumpang sari/agroforestry (penanaman pohon jabon bersama-sama dengan tanaman pertanian atau tanaman pakan ternak) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.3    Pemeliharaan, kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan, penyiraman, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit serta penjarangan. Kegiatan penyiangan cukup dilakukan sampai jabon berumur satu tahun karena dalam waktu 1 tahun tinggi jabon sudah mencapai 5 – 8 m. Penyiangan dapat dilakukan secara manual (pembabatan) atau dengan aplikasi herbisida (dosis 100 ml/10 liter air). Pemupukan diprioritaskan pada pohon-pohon yang tertinggal pertumbuhannya (pemupukan selektif). Penjarangan pertama dapat dilaksanakan pada umur 3 tahun setelah penanaman. Rotasi penjarangan berikutnya disesuaikan dengan kebutuhan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Menurut Listyanto (2010), penjarangan dilakukan jika tajuk sudah bersentuhan secara rapat.

6.     Pertumbuhan
Jabon merupakan jenis tanaman lokal Indonesia yang tergolong pohon cepat tumbuh dapat tumbuh di berbagai tipe tanah (Redaksi Trubus, 2010). Dalam pertumbuhannya jabon membutuhkan cahaya yang cukup. Riap tahunan sampai tanaman berumur 6 – 8 tahun adalah 7 cm/tahun, dan akan menurun menjadi 3 cm/ta`hun sampai tanaman berumur 20 tahun. Setelah umur 20 tahun pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat. Rata-rata riap volume per tahun adalah 10 sampai 26 m3/tahun. Untuk bahan baku industri pulp, jabon dapat dipanen pada umur 4 – 5 tahun setelah tanam, sedangkan untuk industri kayu pertukangan biasanya ditebang pada umur 10 tahun. Setelah berumur sekitar 30 tahun, jenis ini dapat mencapai tinggi rata-rata 38 meter dan diameter rata-rata 65 cm (Soerianegara & Lemmens, 1994 dalam Pratiwi, 2003). Sudarmo (1957) dalam Krisnawati et al. (2011) melaporkan bahwa A. cadamba tumbuh di beberapa lokasi di Jawa umumnya mencapai volume maksimum rata-rata selisih tahunan (MAI) 20 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun dalam kualitas yang cukup baik, menghasilkan 183 m3/ha setiap rotasi. Dalam kualitas yang sedang, volume MAI 16 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun menghasilkan 145 m3/ha. Dalam kualitas yang rendah, yang menghasilkan volume total sekitar 105 m3/ha pada umur 9 tahun dengan volume MAI maksimum 15 m3/ha/tahun tidak hanya mencapai umur 9 tahun bahkan sampai umur 24 tahun. Pada umur 24 tahun, volume maksimum MAI hanya bisa mencapai 13 m3/ha/tahun.

7.     Status Fungi Mikoriza pada Tanaman Jabon
Berdasarkan hasil review Wang and Qiu (2006) ditemukan sekitar 2.469 dari 3.617 jenis tanaman yang berasosiasi dengan FMA, 55 jenis diantaranya adalah jenis yang termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)Miq.) yang termasuk dalam famili Rubiaceae tidak termasuk dalam 55 jenis yang sudah diketahui asosiasi dan respon pertumbuhannya terhadap inokulasi FMA. Hal ini menunjukan bahwa informasi penelitian internasional maupun nasional tentang asosiasi simbiotik FMA dengan jenis tersebut masih kurang. Berdasarkan hasil penelitian Hildalita (2009) mengemukakan bahwa mikoriza yang menginfeksi akar semai jabon tidak diketahui jenisnya karena mikoriza yang menginfeksi adalah mikoriza yang berkembang secara alami tanpa adanya penambahan inokulum.

Daftar Pustaka
Darwo, 1994. Studi Pendahuluan Pembuatan Batang Korek Api dari Jabon. Buletin Penelitian Kehutanan 10 (1) : 13 – 29. BPK Pematang Siantar.
Hildalita, 2009. Penggunaan Sludge Pabrik Kopi dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq). Abstrak Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Diakses 22 Maret 2011.
Krisnawati, H., Maarit K., dan Markku K., 2011. Anthochepalus cadamba Miq. Ecology, Silviculture and Productivity. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Listyanto, 2010. Budidaya Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) Menggunakan Bio P 2000 Z. Seri Kehutanan PT. Alam Lestari Maju Indonesia.
Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nair, K.S.S., 2000. Insect Pest and Disease in Indonesian Forest. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Pratiwi, 2003. Prospek Pohon Jabon untuk Pengembangan Hutan Tanaman. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 1 Tahun 2003, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Redaksi Trubus, 2010. Jabon Jagoan Kayu Produktif. PT. Trubus Swadaya. Jakarta.
Sapulete, E., Kapisa, N., 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Buletin Penelitian Kehutanan 10 (3) : 183 – 195. BPK Pematang Siantar.
Sedijoprapto, EI dan AR. Dewi, 2001. Arboretum Manggala Wanabakti: Tanaman Delegasi WFC VIII, Tinjauan Literatur. Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti Pusdokinfo, Museum dan Taman Hutan. Jakarta.
Wang B and Y.-L.Qiu. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizasin land plants. Mycorrhiza 16: 299–363






Tidak ada komentar:

Posting Komentar