Senin, 02 Mei 2011

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat


PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI SULAWESI TENGGARA

Oleh :
Muh. Ramdin Tahir* (D1B508014)
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo


Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan keluarga. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi masyarakat hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan mereka. Oleh karena itu pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal.
*Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Unhalu, Kendari
 
Pengelolaan hutan selama masa orde baru secara sistematis telah menghabiskan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan pembangunan industri yang meminggirkan rakyat, hanya untuk keuntungan segelintir orang dan membangun negara yang korporatis, korup, kolusi dan nepotis. Kondisi ini diawali dari paradigma pembangunan yang menghalalkan segala cara untuk mengejar ambisi ekonomi dengan memasung hak-hak politik rakyat, mengingkari hak-hak asasi manusia dan kelestarian sumberdaya alam. Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan krisis ekonomi, ekologi, pangan dan kepercayaan yang berkepanjangan, hal ini membuktikan kalau pemerintah Orde Baru tidak mampu menjamin peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal dipedesaan dan pedalaman.
Apabila ingin merubah arah pengelolaan sumber daya hutan, 
maka harus mulai mencari pendekatan baru. Pendekatan yang semula mempercayakan sepenuhnya pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, dirubah menjadi pengelolaan sumber daya hutan yang koperatif dengan berbasiskan pada pengetahuan lokal yang telah tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Implikasi dari pendekatan ini adalah pilihan untuk menerapkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal kebutuhan sehari-hari disamping itu masyarakat juga wajib menjaga dan melestarikan hutan. Pengelolaan hutan  ini tentunya dapat terwujud melalui program hutan tanaman rakyat (HTR). Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan hutan dimana petani lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Biasanya masyarakat ini telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Salah daerah yang sampai saat ini melaksanakan praktek pengolahan hutan di areal hutan rakyat yaitu masyarakat Konawe Selatan. Masyarakat Konawe Selatan secara perlahan mulai tergugah melihat realitas kerusakan hutan yang telah mendekati ambang batas dan menunjukkan kondisi yang semakin kritis. Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai mendapat sentuhan pemahaman dari beberapa kalangan pro-lingkungan.
Gagasan untuk menekan aktivitas illegal logging yang dimainkan oleh para ”pengusaha hitam” yang melibatkan masyarakat miskin di wilayah Konawe Selatan, kemudian mengkristal dimemori masyarakat.
Pilihan strategis yang paling awal dilakukan, masyarakat mulai melakukan pemetaan areal hutan tanah miliknya yang secara notabene didalamnya ditumbuhi kayu jati yang siap untuk dipanen/diproduksi. Pilihan ini dilakukan dengan metode dan stretagi tersendiri dan prosesnya tidak bersinggungan apalagi sampai berkolaborasi dengan para pengusaha kayu di Konawe Selatan.
Dalam prosesnya kemudian, inisiatif untuk mengelola hasil hutan ditanah milik sendiri kemudian berjalan. Hal itu terjadi setelah masyarakat mendapat dukungan dari sejumlah lembaga pro-lingkungan bahkan kayu-kayu yang diolah oleh masyarakat terlebih dahulu harus mendapat pengakuan dari badan dunia dalam bentuk sertifikasi.
Pendek kata, kayu-kayu hasil olahan masyarakat ditanah miliknya akan dibeli oleh buyer resmi dengan harga yang cukup menjanjikan secara jangka panjang, apalagi para buyer kayu tidak menghendaki kayu yang bersumber dari hasil illegal logging.
Pengolahan kayu ditanah milik sendiri, secara perlahan terus dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah bersama dalam bentuk koperasi. bahkan, inisiatif untuk menjadikan model pengelolaan kayu ditanah milik ini sebagai daerah percontohan sosial forestry (sosfor) kemudian terus didorong oleh berbagai kalangan.
Hadirnya model pengolahan hutan ini, secara langsung maupun tidak langsung telah memutus suplay kayu ditingkat pengusaha hitam/cukong, sebab banyak masyarakat yang semula bekerja dengan para pengusaha kemudian beralih mengolah hasil hutan ditanah miliknya sendiri.
Dalam kurun waktu setelah proses ini berjalan, laju kerusakan hutan diareal tanah negara mulai dapat ditekan, sebab para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu dari areal tana negara tidak lagi bisa memanfaatkan jasa masyarakat setempat. akibatnya, banyak perusahaan dan sawmil yang akhirnya tutup alias gulung tikar.
Fakta ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa hadirnya inisiatif masyarakat untuk mengolah hasil hutan ditanah miliknya turut pula memutus bahkan mematikan langkah para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu secara illegal diareal tanah negara.
Namun demikian, kedua hal ini masih perlu mendapat berbagai pemikiran, utamanya dalam mendorong agar aktivitas illegal logging diwilayah Konawe Selatan bisa ditekan bahkan dihentikan. satu-satunya cara yang paling efektif dapat dilakukan tidak lain, pengolahan hutan musti dikembalikan kepada masyarakat secara langsung.
(No Forest No Future)




…………..*********…………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar