Selasa, 03 Mei 2011

Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Kolaka

SISTEM MOSALEI, MEKERE, HUMUNU, MO’ENGGAI DAN MEWALA
SEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU MEKONGGA
DALAM MEMBUKA LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR
DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

MUH. RAMDIN TAHIR (D1B508014)
S A R P I N (D1B508096)
SOFYAN  J. (D1B508046)
Mahasiswa Jurusan Kehutanan,
Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari


PENDAHULUAN
Daerah Kabupaten Kolaka atau biasa disebut “Bumi Mekonggaberada di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat. Kabupaten Kolaka memanjang dari utara ke selatan berada pada posisi 2.000' Lintang Selatan (LS) dan membentang dari Barat ke Timur berada pada posisi 120.045' – 124.060' Bujur Timur (BT). Dengan batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara, di sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Kolaka mencakup Jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas 6.918,38 km2 dan Kabupaten Kolaka dipandang dari sudut oceanografi memiliki perairan (laut) yang sangat luas yaitu diperkirakan mencapai  15.000 km2. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka keadaan Sensus Tahun 2005 terdiri atas 14 Kecamatan, 131 Desa dan 45 Kelurahan.
Kabupaten Kolaka dikatakan “Bumi Mekongga” karena di Kabupaten Kolaka merupakan daerah Suku Mekongga. Suku Mekongga merupakan orang asli kolaka dimana dari segi makna yaitu kata to mekongga berarti orang yang membunuh burung elang raksasa yang disebut burung konggaha'a. Suku ini tersebar secara merata di daratan kolaka dan menggantungkan hidupnya dari mengelola sumber daya alam.
Kearifan lokal suku Mekongga yang masih dipertahankan sampai saat ini salah satunya dalam bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang masih berlaku adalah Mepombahora. Mepombahora merupakan suatu bentuk usaha membuka lahan untuk dijadikan lahan perladangan atau perkebunan. Kegiatan Mepombahora yang dilakukan oleh suku Mekongga diawali dengan pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya. Pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya dilakukan dengan beberapa tahapan : 1) pemilihan lokasi perladangan (Monggiikii ando’olo ), 2) upacara pra monda’u (mohoto o wuta), 3) menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain (Mosalei), 4) menebang pepohonan besar (Monduehi), 5) membakar (Humunu), 6) membersihkan sisa-sisa pembakaran (Mo’enggai), 7) menanam padi (Motasu), 8) membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman (Mosaira dan Mete’ia), 9) panen (Mosawi) dan 10) memasukan ke dalam lumbung (Molonggo)     (Tuheteru, 2008).
 Berdasarkan uraian di atas maka dalam tulisan ini akan membahas tentang kearifan lokal suku Mekongga yang berkaitan dengan pembukaan dan pembersihan lahan dengan menggunakan sistem pembakaran lahan atau ladang melalui sistem mosalei, mekere, humunu dan mo’enggai.

SISTEM MOSALEI
Sistem mosalei dilakukan pada saat akan memulai membuka lahan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menebang pepohonan kecil disekitar areal yang akan dijadikan sebagai lahan perladangan. Alat yang umum digunakan dalam sistem mosalei ini berupa parang (o’pade), kapak (o’pali) dan arit (kandao).
Sebelum melakukan mosalei, pengetahuan peladangan akan cuaca berladang menjadi sangat penting. Sistem ini digunakan oleh masyarakat Tolaki untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menebang pohon, mengeringlan dan membakar ladang. Petunjuk Pesuri mbondau ini dapat membantu peladang untuk meminimalisir terjadinya kebakaran ladang dan hutan. Pesuri mbondau merupakan penentuan musim berladang dan bukan musim berladang dalam menghindari kegagalan untuk memperoleh hasil ladangnya. Penentuan cuaca berladang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan keturunan dengan orang-orang tua terdahulu yang biasa melakukannya (Tuheteru, 2008).
Dasar pertimbangan pelaksanaan Pesuri mbondau adalah pada dua tanda alam dan atau pada dua musim. Dua tanda alam yang dimaksud adalah 1) tanda-tanda kematian, kecelakaan hampa, bahaya, tidak beruntung. Tanda-tanda ini biasanya ditandai dengan kematian binatang. Dan 2) tanda-tanda hidup, keberuntungan, keberhasilan, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan dua musim adalah musim kemarau dan hujan. Petani akan memulai membuka lahan hutan pada musim kemarau yang diawali dengan kegiatan pembersihan akar, semak dan pohon-pohon kecil dan besar dilanjutkan dengan membakar semak atau pohon yang sudah kering. Biasanya aktivitas pembersihan lahan selesai pada penghujung musim kemarau dan atau awal musim hujan. Petani akan memulai menanam pada saat awal musim hujan (Tuheteru, 2008).

SISTEM MEKERE
Mekere didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki ketika hendak membakar hutan atau ladang yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran (baca : sekat bakar) di seluruh wilayah yang akan dibakar. Lebar batas lingkaran umumnya antara 3 (tiga) sampai 4 (empat) meter (Sarmadan & Tawulo, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai ukuran standar yang dapat mencegah menyebarnya api yang disulut ke lahan atau hutan lainnya. Mekere dilakukan pada saat matahari tidak terlalu panas yaitu mulai 08.00 – 11.00 dan waktu sore hari mulai pukul 14.00 – 17.00. Umumnya anggota tim mekere berjumlah 12 orang dewasa yang terbagi dalam tiga kelompok besar yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang yang mewakili atau refresentatif dari empat penjuru mata angin, yaitu utara, selatan, timur dan barat. Tim mekere ini biasanya diketuai oleh orang yang dituakan yang mempunyai pengetahun pesuri mbondau dan arah mata angin. Tim mekere dapat berasal dari anggota keluarga yang sudah dewasa dan atau dari kelompok – kelompok peladang yang saling berdekatan (Suyuti dan Koodoh, 2007 dalam Tuheteru, 2008).
Kegiatan mekere (pembuatan batas lingkaran) diawali dengan membersihkan rumput, rerantingan, dedaunan dan akar atau tunggak yang dikhawatirkan mudah terbakar sehingga api yang disulut tidak menjalar kemana-mana. Biasanya sebelum pembuatan batas lingkaran oleh petani atau peladang, didahului dengan pengetahuan awal tentang arah angin oleh orang yang dituakan berdasarkan prinsip pesuri mbondau. Pengetahuan awal dilakukan untuk menjawab arah angin mana yang harus dihindari oleh peladang dan penentuan batas lingkaran yang tepat. Jika kegiatan mekere sudah selesai dikerjakan langkah selanjutnya adalah pembakaran lahan atau ladang (humunu) (Tuheteru, 2008).
Selain sistem mekere dimana pembersihan lahan dari rumput dan bahan bakar lainnya, masyarakat tolaki terutama masyarakat adat Moronene juga mengenal istilah Mebende. Mebende merupakan bentuk sekat bakar dalam bentuk pembuatan parit (Suyuti dan Sarmadan, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Tidak ada informasi yang pasti tentang berapa lebar dan kedalaman parit yang dipakai. Asumsi dasar mebende ini adalah bagaimana memotong jalur api dengan membuat parit sehingga api tidak menjalar ke ladang lainnya. Pesan moral yang dapat dipetik dari kearifan mekere dan mebende masyarakat Tolaki ini adalah pengetahuan lokal yang sudah turun temurun diwariskan kepada anak suku bangsa Tolaki yang dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup (baca = hutan) yang tidak diinginkan bersama. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengendalikan kebakaran skala kecil sehingga kebakaran tersebut tidak mengarah ke kebakaran dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, bencana kebakaran hutan di Indonesia yang menjadi langganan setiap tahun dapat diminimalisir (Tuheteru, 2008).

SISTEM HUMUNU
Humunu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang – batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat Tolaki, bahwa hari yang baik untuk humunu adalah 1) Leleanggia artinya api akan sangat menyala, 2) O kawe yang berarti angin yang bertiup akan sangat kuat serta 3) Tindo yang berarti api yang menyala akan sangat telaten (Taridala & Adijaya, 2002 dalam Tuheteru, 2008).
Peralatan yang dipakai untuk pembakaran diantaranya korek api, alat pemukul api yang diambil dari ranting dari pohon yang memiliki daun-daun yang masih hidup, air serta daun kelapa kering. Daun kelapa diikat bundar sehingga berbentuk obor yang dapat digunakan untuk membakar bahan bakar. Biasanya sebelum pembakaran diawali dengan doa permohonan agar api dapat membakar bahan bakar dan api tidak menjalar ke tempat atau ladang lainnya (Syamsumarlin, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Selain itu, ada seseorang yang dipercayai dan dianggap sebagai pemimpin kegiatan pembakaran yang bertugas memberikan aba-aba atau kode sebagai tanda bahwa kegiatan pembakaran akan segera dimulai. Tanda-tanda akan dimulai pembakaran dilakukan dengan cara melambai-lambaikan ranting yang memiliki dedaunan hidup (Tuheteru, 2008).
Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali (Tuheteru, 2008).

SISTEM MO’ENGGAI

Mo’enggai merupakan tahapan terakhir dalam sistem pembukaan lahan, Dimana selesai kegiatan humunu masih terdapat sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon yang belum habis terbakar. Oleh karena itu untuk membersikan sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon tersebut maka dilakukan mo’enggai, yakni dengan cara mengumpulkan sisa-sisa humunu tersebut disuatu tempat kemudian membakarnya kembali.
Peralatan yang digunakan dalam system tersebut tidak jauh berbeda dengan peralatan yang digunakan dalam sistem humunu. 

SISTEM MEWALA
            Mewala merupakan teknik pemagaran pada lahan yang sudah diolah dengan tujuan untuk mencegah hewan-hewan pengganggu o beke (babi), o sapi (sapi), karambau (kerbau) dan hewan-hewan pengganggu lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman.
            Peralatan yang digunakan dalam system ini yaitu o pade (parang), gamal, kowuna (bambu), dan o ue (rotan) sebagai pengikat.


PENUTUP
Kearifan lokal dalam pembukaan lahan dengan cara membakar ternyata masih dipraktekan oleh suku mekongga yaitu dengan cara system mosalei, mekere, humunu, mo’enggai dan mewala. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus suku mekongga perlu meniru, mempraktekan dan menjaga kearifan lokal suku mekongga agar tidak hilang dengan perkembangan teknologi modern sekarang ini, karena kearifan local tersebut merupakn warisan nenek moyang orang asli Kabupaten Kolaka, Selawesi Tenggara.


Daftar Pustaka

http://harsulmarit.blogspot.com/. Diases 18 Nopember 2010.
http://asrinyusuf.blogspot.com/2009/09/sejarah-suku-tolaki.html. Diases 18 Nopember 2010.
http://tolaki.dagdigdug.com/. Diases 18 Nopember 2010.
Tuheteru, F. D., 2008. Sistem Mekere Dan Humunu Sebagai Kearifan Suku Tolaki Dalam Menghindari Kebakaran Lahan Dan Hutan Di Provinsi  Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari.

Senin, 02 Mei 2011

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat


PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI SULAWESI TENGGARA

Oleh :
Muh. Ramdin Tahir* (D1B508014)
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo


Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan keluarga. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi masyarakat hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan mereka. Oleh karena itu pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal.
*Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Unhalu, Kendari
 
Pengelolaan hutan selama masa orde baru secara sistematis telah menghabiskan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan pembangunan industri yang meminggirkan rakyat, hanya untuk keuntungan segelintir orang dan membangun negara yang korporatis, korup, kolusi dan nepotis. Kondisi ini diawali dari paradigma pembangunan yang menghalalkan segala cara untuk mengejar ambisi ekonomi dengan memasung hak-hak politik rakyat, mengingkari hak-hak asasi manusia dan kelestarian sumberdaya alam. Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan krisis ekonomi, ekologi, pangan dan kepercayaan yang berkepanjangan, hal ini membuktikan kalau pemerintah Orde Baru tidak mampu menjamin peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal dipedesaan dan pedalaman.
Apabila ingin merubah arah pengelolaan sumber daya hutan, 
maka harus mulai mencari pendekatan baru. Pendekatan yang semula mempercayakan sepenuhnya pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, dirubah menjadi pengelolaan sumber daya hutan yang koperatif dengan berbasiskan pada pengetahuan lokal yang telah tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Implikasi dari pendekatan ini adalah pilihan untuk menerapkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal kebutuhan sehari-hari disamping itu masyarakat juga wajib menjaga dan melestarikan hutan. Pengelolaan hutan  ini tentunya dapat terwujud melalui program hutan tanaman rakyat (HTR). Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan hutan dimana petani lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Biasanya masyarakat ini telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Salah daerah yang sampai saat ini melaksanakan praktek pengolahan hutan di areal hutan rakyat yaitu masyarakat Konawe Selatan. Masyarakat Konawe Selatan secara perlahan mulai tergugah melihat realitas kerusakan hutan yang telah mendekati ambang batas dan menunjukkan kondisi yang semakin kritis. Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai mendapat sentuhan pemahaman dari beberapa kalangan pro-lingkungan.
Gagasan untuk menekan aktivitas illegal logging yang dimainkan oleh para ”pengusaha hitam” yang melibatkan masyarakat miskin di wilayah Konawe Selatan, kemudian mengkristal dimemori masyarakat.
Pilihan strategis yang paling awal dilakukan, masyarakat mulai melakukan pemetaan areal hutan tanah miliknya yang secara notabene didalamnya ditumbuhi kayu jati yang siap untuk dipanen/diproduksi. Pilihan ini dilakukan dengan metode dan stretagi tersendiri dan prosesnya tidak bersinggungan apalagi sampai berkolaborasi dengan para pengusaha kayu di Konawe Selatan.
Dalam prosesnya kemudian, inisiatif untuk mengelola hasil hutan ditanah milik sendiri kemudian berjalan. Hal itu terjadi setelah masyarakat mendapat dukungan dari sejumlah lembaga pro-lingkungan bahkan kayu-kayu yang diolah oleh masyarakat terlebih dahulu harus mendapat pengakuan dari badan dunia dalam bentuk sertifikasi.
Pendek kata, kayu-kayu hasil olahan masyarakat ditanah miliknya akan dibeli oleh buyer resmi dengan harga yang cukup menjanjikan secara jangka panjang, apalagi para buyer kayu tidak menghendaki kayu yang bersumber dari hasil illegal logging.
Pengolahan kayu ditanah milik sendiri, secara perlahan terus dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah bersama dalam bentuk koperasi. bahkan, inisiatif untuk menjadikan model pengelolaan kayu ditanah milik ini sebagai daerah percontohan sosial forestry (sosfor) kemudian terus didorong oleh berbagai kalangan.
Hadirnya model pengolahan hutan ini, secara langsung maupun tidak langsung telah memutus suplay kayu ditingkat pengusaha hitam/cukong, sebab banyak masyarakat yang semula bekerja dengan para pengusaha kemudian beralih mengolah hasil hutan ditanah miliknya sendiri.
Dalam kurun waktu setelah proses ini berjalan, laju kerusakan hutan diareal tanah negara mulai dapat ditekan, sebab para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu dari areal tana negara tidak lagi bisa memanfaatkan jasa masyarakat setempat. akibatnya, banyak perusahaan dan sawmil yang akhirnya tutup alias gulung tikar.
Fakta ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa hadirnya inisiatif masyarakat untuk mengolah hasil hutan ditanah miliknya turut pula memutus bahkan mematikan langkah para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu secara illegal diareal tanah negara.
Namun demikian, kedua hal ini masih perlu mendapat berbagai pemikiran, utamanya dalam mendorong agar aktivitas illegal logging diwilayah Konawe Selatan bisa ditekan bahkan dihentikan. satu-satunya cara yang paling efektif dapat dilakukan tidak lain, pengolahan hutan musti dikembalikan kepada masyarakat secara langsung.
(No Forest No Future)




…………..*********…………..