Selasa, 03 Mei 2011

Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Kolaka

SISTEM MOSALEI, MEKERE, HUMUNU, MO’ENGGAI DAN MEWALA
SEBAGAI KEARIFAN LOKAL SUKU MEKONGGA
DALAM MEMBUKA LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR
DI KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

MUH. RAMDIN TAHIR (D1B508014)
S A R P I N (D1B508096)
SOFYAN  J. (D1B508046)
Mahasiswa Jurusan Kehutanan,
Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari


PENDAHULUAN
Daerah Kabupaten Kolaka atau biasa disebut “Bumi Mekonggaberada di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis terletak pada bagian barat. Kabupaten Kolaka memanjang dari utara ke selatan berada pada posisi 2.000' Lintang Selatan (LS) dan membentang dari Barat ke Timur berada pada posisi 120.045' – 124.060' Bujur Timur (BT). Dengan batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara, di sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Kolaka mencakup Jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki wilayah daratan seluas 6.918,38 km2 dan Kabupaten Kolaka dipandang dari sudut oceanografi memiliki perairan (laut) yang sangat luas yaitu diperkirakan mencapai  15.000 km2. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Kolaka keadaan Sensus Tahun 2005 terdiri atas 14 Kecamatan, 131 Desa dan 45 Kelurahan.
Kabupaten Kolaka dikatakan “Bumi Mekongga” karena di Kabupaten Kolaka merupakan daerah Suku Mekongga. Suku Mekongga merupakan orang asli kolaka dimana dari segi makna yaitu kata to mekongga berarti orang yang membunuh burung elang raksasa yang disebut burung konggaha'a. Suku ini tersebar secara merata di daratan kolaka dan menggantungkan hidupnya dari mengelola sumber daya alam.
Kearifan lokal suku Mekongga yang masih dipertahankan sampai saat ini salah satunya dalam bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang masih berlaku adalah Mepombahora. Mepombahora merupakan suatu bentuk usaha membuka lahan untuk dijadikan lahan perladangan atau perkebunan. Kegiatan Mepombahora yang dilakukan oleh suku Mekongga diawali dengan pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya. Pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya dilakukan dengan beberapa tahapan : 1) pemilihan lokasi perladangan (Monggiikii ando’olo ), 2) upacara pra monda’u (mohoto o wuta), 3) menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain (Mosalei), 4) menebang pepohonan besar (Monduehi), 5) membakar (Humunu), 6) membersihkan sisa-sisa pembakaran (Mo’enggai), 7) menanam padi (Motasu), 8) membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman (Mosaira dan Mete’ia), 9) panen (Mosawi) dan 10) memasukan ke dalam lumbung (Molonggo)     (Tuheteru, 2008).
 Berdasarkan uraian di atas maka dalam tulisan ini akan membahas tentang kearifan lokal suku Mekongga yang berkaitan dengan pembukaan dan pembersihan lahan dengan menggunakan sistem pembakaran lahan atau ladang melalui sistem mosalei, mekere, humunu dan mo’enggai.

SISTEM MOSALEI
Sistem mosalei dilakukan pada saat akan memulai membuka lahan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menebang pepohonan kecil disekitar areal yang akan dijadikan sebagai lahan perladangan. Alat yang umum digunakan dalam sistem mosalei ini berupa parang (o’pade), kapak (o’pali) dan arit (kandao).
Sebelum melakukan mosalei, pengetahuan peladangan akan cuaca berladang menjadi sangat penting. Sistem ini digunakan oleh masyarakat Tolaki untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menebang pohon, mengeringlan dan membakar ladang. Petunjuk Pesuri mbondau ini dapat membantu peladang untuk meminimalisir terjadinya kebakaran ladang dan hutan. Pesuri mbondau merupakan penentuan musim berladang dan bukan musim berladang dalam menghindari kegagalan untuk memperoleh hasil ladangnya. Penentuan cuaca berladang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan keturunan dengan orang-orang tua terdahulu yang biasa melakukannya (Tuheteru, 2008).
Dasar pertimbangan pelaksanaan Pesuri mbondau adalah pada dua tanda alam dan atau pada dua musim. Dua tanda alam yang dimaksud adalah 1) tanda-tanda kematian, kecelakaan hampa, bahaya, tidak beruntung. Tanda-tanda ini biasanya ditandai dengan kematian binatang. Dan 2) tanda-tanda hidup, keberuntungan, keberhasilan, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan dua musim adalah musim kemarau dan hujan. Petani akan memulai membuka lahan hutan pada musim kemarau yang diawali dengan kegiatan pembersihan akar, semak dan pohon-pohon kecil dan besar dilanjutkan dengan membakar semak atau pohon yang sudah kering. Biasanya aktivitas pembersihan lahan selesai pada penghujung musim kemarau dan atau awal musim hujan. Petani akan memulai menanam pada saat awal musim hujan (Tuheteru, 2008).

SISTEM MEKERE
Mekere didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki ketika hendak membakar hutan atau ladang yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan membuat batas lingkaran (baca : sekat bakar) di seluruh wilayah yang akan dibakar. Lebar batas lingkaran umumnya antara 3 (tiga) sampai 4 (empat) meter (Sarmadan & Tawulo, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai ukuran standar yang dapat mencegah menyebarnya api yang disulut ke lahan atau hutan lainnya. Mekere dilakukan pada saat matahari tidak terlalu panas yaitu mulai 08.00 – 11.00 dan waktu sore hari mulai pukul 14.00 – 17.00. Umumnya anggota tim mekere berjumlah 12 orang dewasa yang terbagi dalam tiga kelompok besar yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang yang mewakili atau refresentatif dari empat penjuru mata angin, yaitu utara, selatan, timur dan barat. Tim mekere ini biasanya diketuai oleh orang yang dituakan yang mempunyai pengetahun pesuri mbondau dan arah mata angin. Tim mekere dapat berasal dari anggota keluarga yang sudah dewasa dan atau dari kelompok – kelompok peladang yang saling berdekatan (Suyuti dan Koodoh, 2007 dalam Tuheteru, 2008).
Kegiatan mekere (pembuatan batas lingkaran) diawali dengan membersihkan rumput, rerantingan, dedaunan dan akar atau tunggak yang dikhawatirkan mudah terbakar sehingga api yang disulut tidak menjalar kemana-mana. Biasanya sebelum pembuatan batas lingkaran oleh petani atau peladang, didahului dengan pengetahuan awal tentang arah angin oleh orang yang dituakan berdasarkan prinsip pesuri mbondau. Pengetahuan awal dilakukan untuk menjawab arah angin mana yang harus dihindari oleh peladang dan penentuan batas lingkaran yang tepat. Jika kegiatan mekere sudah selesai dikerjakan langkah selanjutnya adalah pembakaran lahan atau ladang (humunu) (Tuheteru, 2008).
Selain sistem mekere dimana pembersihan lahan dari rumput dan bahan bakar lainnya, masyarakat tolaki terutama masyarakat adat Moronene juga mengenal istilah Mebende. Mebende merupakan bentuk sekat bakar dalam bentuk pembuatan parit (Suyuti dan Sarmadan, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Tidak ada informasi yang pasti tentang berapa lebar dan kedalaman parit yang dipakai. Asumsi dasar mebende ini adalah bagaimana memotong jalur api dengan membuat parit sehingga api tidak menjalar ke ladang lainnya. Pesan moral yang dapat dipetik dari kearifan mekere dan mebende masyarakat Tolaki ini adalah pengetahuan lokal yang sudah turun temurun diwariskan kepada anak suku bangsa Tolaki yang dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup (baca = hutan) yang tidak diinginkan bersama. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengendalikan kebakaran skala kecil sehingga kebakaran tersebut tidak mengarah ke kebakaran dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, bencana kebakaran hutan di Indonesia yang menjadi langganan setiap tahun dapat diminimalisir (Tuheteru, 2008).

SISTEM HUMUNU
Humunu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang – batang pohon serta bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat Tolaki, bahwa hari yang baik untuk humunu adalah 1) Leleanggia artinya api akan sangat menyala, 2) O kawe yang berarti angin yang bertiup akan sangat kuat serta 3) Tindo yang berarti api yang menyala akan sangat telaten (Taridala & Adijaya, 2002 dalam Tuheteru, 2008).
Peralatan yang dipakai untuk pembakaran diantaranya korek api, alat pemukul api yang diambil dari ranting dari pohon yang memiliki daun-daun yang masih hidup, air serta daun kelapa kering. Daun kelapa diikat bundar sehingga berbentuk obor yang dapat digunakan untuk membakar bahan bakar. Biasanya sebelum pembakaran diawali dengan doa permohonan agar api dapat membakar bahan bakar dan api tidak menjalar ke tempat atau ladang lainnya (Syamsumarlin, 2007 dalam Tuheteru, 2008). Selain itu, ada seseorang yang dipercayai dan dianggap sebagai pemimpin kegiatan pembakaran yang bertugas memberikan aba-aba atau kode sebagai tanda bahwa kegiatan pembakaran akan segera dimulai. Tanda-tanda akan dimulai pembakaran dilakukan dengan cara melambai-lambaikan ranting yang memiliki dedaunan hidup (Tuheteru, 2008).
Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali (Tuheteru, 2008).

SISTEM MO’ENGGAI

Mo’enggai merupakan tahapan terakhir dalam sistem pembukaan lahan, Dimana selesai kegiatan humunu masih terdapat sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon yang belum habis terbakar. Oleh karena itu untuk membersikan sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon tersebut maka dilakukan mo’enggai, yakni dengan cara mengumpulkan sisa-sisa humunu tersebut disuatu tempat kemudian membakarnya kembali.
Peralatan yang digunakan dalam system tersebut tidak jauh berbeda dengan peralatan yang digunakan dalam sistem humunu. 

SISTEM MEWALA
            Mewala merupakan teknik pemagaran pada lahan yang sudah diolah dengan tujuan untuk mencegah hewan-hewan pengganggu o beke (babi), o sapi (sapi), karambau (kerbau) dan hewan-hewan pengganggu lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman.
            Peralatan yang digunakan dalam system ini yaitu o pade (parang), gamal, kowuna (bambu), dan o ue (rotan) sebagai pengikat.


PENUTUP
Kearifan lokal dalam pembukaan lahan dengan cara membakar ternyata masih dipraktekan oleh suku mekongga yaitu dengan cara system mosalei, mekere, humunu, mo’enggai dan mewala. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus suku mekongga perlu meniru, mempraktekan dan menjaga kearifan lokal suku mekongga agar tidak hilang dengan perkembangan teknologi modern sekarang ini, karena kearifan local tersebut merupakn warisan nenek moyang orang asli Kabupaten Kolaka, Selawesi Tenggara.


Daftar Pustaka

http://harsulmarit.blogspot.com/. Diases 18 Nopember 2010.
http://asrinyusuf.blogspot.com/2009/09/sejarah-suku-tolaki.html. Diases 18 Nopember 2010.
http://tolaki.dagdigdug.com/. Diases 18 Nopember 2010.
Tuheteru, F. D., 2008. Sistem Mekere Dan Humunu Sebagai Kearifan Suku Tolaki Dalam Menghindari Kebakaran Lahan Dan Hutan Di Provinsi  Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari.

Senin, 02 Mei 2011

Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat


PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT
DI SULAWESI TENGGARA

Oleh :
Muh. Ramdin Tahir* (D1B508014)
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo


Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan keluarga. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan hutan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi masyarakat hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan mereka. Oleh karena itu pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan.
Realitas yang terjadi saat ini kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpa memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal.
*Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Unhalu, Kendari
 
Pengelolaan hutan selama masa orde baru secara sistematis telah menghabiskan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan pembangunan industri yang meminggirkan rakyat, hanya untuk keuntungan segelintir orang dan membangun negara yang korporatis, korup, kolusi dan nepotis. Kondisi ini diawali dari paradigma pembangunan yang menghalalkan segala cara untuk mengejar ambisi ekonomi dengan memasung hak-hak politik rakyat, mengingkari hak-hak asasi manusia dan kelestarian sumberdaya alam. Kondisi ini pada gilirannya menimbulkan krisis ekonomi, ekologi, pangan dan kepercayaan yang berkepanjangan, hal ini membuktikan kalau pemerintah Orde Baru tidak mampu menjamin peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal dipedesaan dan pedalaman.
Apabila ingin merubah arah pengelolaan sumber daya hutan, 
maka harus mulai mencari pendekatan baru. Pendekatan yang semula mempercayakan sepenuhnya pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, dirubah menjadi pengelolaan sumber daya hutan yang koperatif dengan berbasiskan pada pengetahuan lokal yang telah tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Implikasi dari pendekatan ini adalah pilihan untuk menerapkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal kebutuhan sehari-hari disamping itu masyarakat juga wajib menjaga dan melestarikan hutan. Pengelolaan hutan  ini tentunya dapat terwujud melalui program hutan tanaman rakyat (HTR). Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan hutan dimana petani lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Biasanya masyarakat ini telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Salah daerah yang sampai saat ini melaksanakan praktek pengolahan hutan di areal hutan rakyat yaitu masyarakat Konawe Selatan. Masyarakat Konawe Selatan secara perlahan mulai tergugah melihat realitas kerusakan hutan yang telah mendekati ambang batas dan menunjukkan kondisi yang semakin kritis. Kesadaran itu muncul ketika masyarakat mulai mendapat sentuhan pemahaman dari beberapa kalangan pro-lingkungan.
Gagasan untuk menekan aktivitas illegal logging yang dimainkan oleh para ”pengusaha hitam” yang melibatkan masyarakat miskin di wilayah Konawe Selatan, kemudian mengkristal dimemori masyarakat.
Pilihan strategis yang paling awal dilakukan, masyarakat mulai melakukan pemetaan areal hutan tanah miliknya yang secara notabene didalamnya ditumbuhi kayu jati yang siap untuk dipanen/diproduksi. Pilihan ini dilakukan dengan metode dan stretagi tersendiri dan prosesnya tidak bersinggungan apalagi sampai berkolaborasi dengan para pengusaha kayu di Konawe Selatan.
Dalam prosesnya kemudian, inisiatif untuk mengelola hasil hutan ditanah milik sendiri kemudian berjalan. Hal itu terjadi setelah masyarakat mendapat dukungan dari sejumlah lembaga pro-lingkungan bahkan kayu-kayu yang diolah oleh masyarakat terlebih dahulu harus mendapat pengakuan dari badan dunia dalam bentuk sertifikasi.
Pendek kata, kayu-kayu hasil olahan masyarakat ditanah miliknya akan dibeli oleh buyer resmi dengan harga yang cukup menjanjikan secara jangka panjang, apalagi para buyer kayu tidak menghendaki kayu yang bersumber dari hasil illegal logging.
Pengolahan kayu ditanah milik sendiri, secara perlahan terus dikembangkan oleh masyarakat melalui wadah bersama dalam bentuk koperasi. bahkan, inisiatif untuk menjadikan model pengelolaan kayu ditanah milik ini sebagai daerah percontohan sosial forestry (sosfor) kemudian terus didorong oleh berbagai kalangan.
Hadirnya model pengolahan hutan ini, secara langsung maupun tidak langsung telah memutus suplay kayu ditingkat pengusaha hitam/cukong, sebab banyak masyarakat yang semula bekerja dengan para pengusaha kemudian beralih mengolah hasil hutan ditanah miliknya sendiri.
Dalam kurun waktu setelah proses ini berjalan, laju kerusakan hutan diareal tanah negara mulai dapat ditekan, sebab para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu dari areal tana negara tidak lagi bisa memanfaatkan jasa masyarakat setempat. akibatnya, banyak perusahaan dan sawmil yang akhirnya tutup alias gulung tikar.
Fakta ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa hadirnya inisiatif masyarakat untuk mengolah hasil hutan ditanah miliknya turut pula memutus bahkan mematikan langkah para pengusaha kayu yang memanfaatkan kayu secara illegal diareal tanah negara.
Namun demikian, kedua hal ini masih perlu mendapat berbagai pemikiran, utamanya dalam mendorong agar aktivitas illegal logging diwilayah Konawe Selatan bisa ditekan bahkan dihentikan. satu-satunya cara yang paling efektif dapat dilakukan tidak lain, pengolahan hutan musti dikembalikan kepada masyarakat secara langsung.
(No Forest No Future)




…………..*********…………..

Rabu, 27 April 2011

SILVIKULTUR JABON (Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq.)

Oleh :
MUH. RAMDIN TAHIR
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Faperta, Unhalu, Kendari)

1.     Deskripsi Umum
Berdasarkan klasifikasinya, jabon {Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq. Syn.  Anthochepalus chinensis (Lamk.)} termasuk ke dalam famili Rubiaceae (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon merupakan salah satu jenis asli Indonesia dan memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan karena jabon termasuk pohon cepat tumbuh,  dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, tidak memiliki hama dan penyakit yang serius, dan ketersediaan pengetahuan silvikulturnya cukup lengkap (Pratiwi, 2003).
Tinggi pohon jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang bebas cabang 30 m, diameter dapat mencapai 160 cm. batangnya lurus dan silindris,  bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Daunnya tunggal, panjang tangkai 1 ½ - 4 cm, helaian daun berbentuk ellips atau lonjong, kadang hampir bundar. Bunganya cukup besar, semacam bunga bongkol, diameter 4 ½ - 6 cm. Buah panjangnya 6 mm diliputi daun kelopak, bagian bawahnya agak lunak, berbiji banyak (Tantra, 1981 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).
Kayu jabon dapat dipakai untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom dan konstruksi darurat yang ringan (Martawijaya, 1989 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).

2.     Habitat dan Sebaran
Jabon memiliki sebaran alami yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenajung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Cina, dan Australia. Di Indonesia sendiri, jabon ternyata memiliki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Di Maluku, terdapat sebaran jabon jenis A. macrophyllus yang dikenal dengan sebutan jabon merah (Mansur dan Tuheteru, 2010).
Jenis ini umumnya tumbuh di tanah-tanah alluvial lembab di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Di samping itu jabon dapat tumbuh dengan baik di tanah liat, tanah lempung Podzolik coklat, tanah tuf halus atau tanah berbatu yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai kering dengan tipe curah hujan A sampai D menurut Schmidt dan Ferguson (1951), mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Martawidjaja, et al., 1989 dalam Pratiwi, 2003). Umumnya jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan dijumpai di dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit. Jabon juga dapat tumbuh secara alami di lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang memang kondisinya ekstrim, yaitu di tanah dengan pH yang rendah (pH 4) dan tidak subur, terendam, serta kondisi lingkungan yang sangat terbuka dengan suhu yang relatif tinggi. Jabon pun potensial sebagai alternatif dari tanaman sengon dan akasia yang telah lebih dahulu menjadi jenis utama tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon tumbuh di daerah beriklim basah – kering dengan rata – rata temperatur tahunan antara 21 sampai 26oC. Curah hujan tahunan antara 1500 mm sampai 5000 mm atau lebih. Jabon tahan musim kemarau sampai 3 bulan tanpa mengalami banyak kerusakan (Meyenfeld, dkk., 1978 dalam Sapulete dan Kapisa 1994).

3.     Perbenihan
   3.1    Pengadaan Benih
            3.1.1      Sumber Benih
           Di tempat tumbuh dimana pohon penghasil biji cukup tersedia, permudaan alam dari biji dapat di atur dengan cara membersihkan tanah di bawah pohon biji pada waktu buah sudah kelihatan matang. Biji-biji akan jatuh dan tumbuh di tempat yang telah dibersihan (Sapulete dan Kapisa, 1994)
           Benih (biji yang akan digunakan untuk produksi bibit) idealnya berasal dari pohon induk yang baik, yakni antara lain memiliki ciri berbatang lurus dan bulat dengan bebas cabang yang tinggi dan terbebas dari hama/penyakit (Mansur dan Tuheteru, 2010).          
            3.1.2      Biologi Reproduksi
Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni sampai Agustus. Buah mengandung biji yang sangat kecil, dengan jumlah biji kering udara 18 – 26 juta butir per kg. Sedangkan jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir per kaleng minyak tanah (Pratiwi, 2003).
           Jabon berbuah setahun sekali saat musim berbunganya, yakni pada bulan Januari – Juni dan akan masak pada bulan Maret – Juni dengan jumlah buah majemuk 33 buah per kg. Buah jabon berbentuk bulat dengan ukuran 4,5 – 6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang sangat banyak layaknya buah majemuk seperti keluwih/nangka yang berukuran kecil dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji. Setiap ruang biji tersebut berisi banyak biji (Mansur dan Tuheteru, 2010).

3.2   Penanganan Benih
3.2.1   Pengumpulan Benih : Bibit diperoleh dari buah yang sudah tua / masak yang diambil dengan cara memanjat dan memetiknya dari pohon atau dengan cara memungut buah yang sudah jatuh (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.2   Ekstraksi Benih : Buah-buah pilihan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam karung atau keranjang untuk dibawa ke tempat ekstraksi dan dihamparkan di atas lantai beralaskan plastik atau tikar. Jika buah akan dikirim ke lokasi yang jaraknya jauh dan memerlukan waktu beberapa hari, sebaiknya buah dicacah lalu dijemur terlebih dahulu selama 1 – 2 hari agar kering dan buah tidak busuk. Biji jabon dapat diekstrak dengan dua cara, yaitu melalui ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Dengan ekstraksi kering, kermurnian benih kurang dari 50% karena tercampur dengan serbuk dari daging buah. Selain itu, pada ekstraksi kering, sering kali sulit untuk membedakan antara biji dengan serbuk daging buah yang berukuran sama. Sementara itu, dengan ekstraksi basah, kemurnian benih bisa mencapai 100% dan biji dapat dilihat dengan jelas (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.3   Penyimpanan Benih : Secara teoritis, benih dapat disimpan selama kurang lebih setahun, yakni bila disimpan dalam wadah kantong plastik, di lemari pendingin, atau di tempat yang tertutup rapat dalam ruangan sejuk. Benih yang disimpan pada kondisi tersebut selama 9 bulan mempunyai daya berkecambah 1.234,5 kecambah/0,1 g, sedangkan benih yang disimpan selama 18 bulan daya kecambahnya 314/0,1 g. Namun, untuk hasil yang memuaskan, sebaiknya penyimpanan benih tidak terlalu lama, yakni tidak lebih dari tiga bulan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Dalam Sapulete dan Kapisa (1994) mengemukakan bahwa untuk mempertahankan viabilitas biji sebaiknya disimpan dalam kotak kedap udara dingin dan ditempatkan dalam suhu ruangan yang stabil. Biji juga dapat disimpan dalam freezer bertemperatur 3 – 5oC (untuk lama penyimpanan kurang dari 3 tahun) atau -4 sampai 10oC (untuk penyimpanan biji lebih dari 3 tahun).
3.2.4   Hama dan Penyakit Benih : Hama yang sering menyerang bibit di persemaian antara lain semut (fam. Formicidae), bekicot dan penyakit damping off oleh cendawan Fusarium spp., Rhizoctonia spp., dan Pythium spp. Sedangkan di lapangan hama jabon adalah rusa, banteng, rayap batang dan ulat kukuk (di akar), sementara sumber penyakit berasal dari cendawan Gloosperium anthocephali (mati pucuk) dan Margaraniopsis tocalis (gugur daun) (Pratiwi, 2003) dan Armillaria sp. (busuk akar) (Darwo, 1994). Menurut Nair (2000), salah satu hama yang menyerang tanaman jabon adalah serangga Margaronia sp.
3.2.5   Perlakuan Pendahuluan dan Perkecambahan : Biji-biji yang telah disimpan untuk jangka waktu lama (misalnya 2 bulan) lebih baik berkecambah di bawah cahaya matahari langsung. Ini dimaklumi karena biji jabon memang memerlukan cahaya matahari penuh untuk proses perkecambahan. Biji jabon mulai berkecambah pada hari ke 12 – 20 setelah penaburan. Persentase berkecambah dari biji segar yang langsung ditabur adalah rendah yaitu 25%; melalui stratifikasi dan ekstraksi kemudian disimpan selama 2 bulan di dalam kontainer kedap udara dapat meningkatkan persen kecambah hingga 90% (Sapulete dan Kapisa, 1994).

4.     Pembibitan
        4.1    Pengadaan bibit secara generatif
         Perbanyakan bibit secara generatif bisa dilakukan melalui biji. Media perkecambahan benih jabon berupa campuran pasir dan tanah halus (1:1) yang disterilkan dengan cara disangrai selama 2 jam atau disterilkan dengan fungisida berdosis rendah (50 ml/l air). Media disiram sampai jenuh dan ditaburi benih pada bak tabor. Dalam penaburan biji jabon, sebaiknya biji dicampur dengan pasir halus (1:10) agar benih tersebar merata. Setelah 3 – 4 minggu berkecambah bibit hasil penyemaian sudah bisa dipindahkan ke dalam polibag ukuran 10 cm x 15 cm atau 15 cm x 25 cm yakni saat bibit berukuran 3 – 5 cm atau telah memiliki daun empat lembar. Media polibag adalah campuran pasir : tanah : kompos  (2:7:1) dengan kisaran pH 4 – 5. Bibit yang harus disapih ditempatkan pada bedengan persemaian yang diberi naungan sekitar 65% dan secara berkala dikurangi intensitas naungannya. Pemupukan dilakukan setelah bibit berumur 2 minggu, yakni menggunakan pupuk NPK cair (5 g/l air) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
4.2    Pengadaan bibit secara vegetatif
Perbanyakan vegetatif  jabon dapat dilakukan dengan teknik stek pucuk dan stek batang serta kultur jaringan.
        4.3    Pengadaan bibit anakan alam
         Pengadaan bibit dari anakan alam dapat dilakukan dengan cabutan dan stump. Di tingkat lokal, khususnya pada tingkatan masyarakat yang masih belum mengerti teknik budidaya dengan benih, hingga saat ini masih banyak orang yang menggunakan cabutan anakan alami yang memang tumbuh di sekitar pohon induk atau terbawa air atau hewan seperti kelelawar (Mansur dan Tuheteru, 2010).

5.     Penanaman
5.1    Persiapan lahan, penyiapan lahan merupakan kegiatan yang sangat penting yang turut menentukan produktivitas tanaman jabon dalam jangka panjang. Kegiatannya meliputi pembukaan lahan, penentuan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon dan menebas semak belukar serta menyingkirkannya dari lahan penanaman. Penyiapan lahan berupa pembersihan dari semak belukar dan dibajak sebelum musim hujan antara bulan Mei sampai Agustus. Penyiapan lahan dapat dilakukan secara mekanis ataupun manual. Pengolahan tanah secara manual mampu memberikan hasil yang memuaskan, yaitu persentase pertumbuhan 98% (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.2    Penanaman, penanaman sebaiknya dilakukan di awal musim hujan, dan pada pagi hari pukul 07.00-11.00, dilanjutkan lagi pada sore hari pukul 14.00-17.00. Penanaman dilakukan setelah frekuensi hujan cukup tinggi dan tanah telah basah. Teknik menanam jabon yang benar, yakni dengan memasukkan tanah yang telah dicampur dengan kompos dan pupuk NPK ke lubang tanam, memadatkan media dalam polibag secara hati-hati, melepas polibag secara hati-hati, menanam bibit di lubang tanam dan memasang penyangga (Mansur dan Tuheteru, 2010).  Jarak tanam 3 x 2 m atau 5 x 5 m tergantung tujuan penanaman, murni atau tumpangsari dengan lubang tanam 30 x 30 x 30 cm atau 40 x 40 x 40 cm tergantung kondisi tanah (Listyanto, 2010). Penanaman jabon dapat dilakukan secara monokultur (lahan hanya digunakan untuk penanaman pohon jabon saja) atau dengan pola tumpang sari/agroforestry (penanaman pohon jabon bersama-sama dengan tanaman pertanian atau tanaman pakan ternak) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.3    Pemeliharaan, kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan, penyiraman, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit serta penjarangan. Kegiatan penyiangan cukup dilakukan sampai jabon berumur satu tahun karena dalam waktu 1 tahun tinggi jabon sudah mencapai 5 – 8 m. Penyiangan dapat dilakukan secara manual (pembabatan) atau dengan aplikasi herbisida (dosis 100 ml/10 liter air). Pemupukan diprioritaskan pada pohon-pohon yang tertinggal pertumbuhannya (pemupukan selektif). Penjarangan pertama dapat dilaksanakan pada umur 3 tahun setelah penanaman. Rotasi penjarangan berikutnya disesuaikan dengan kebutuhan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Menurut Listyanto (2010), penjarangan dilakukan jika tajuk sudah bersentuhan secara rapat.

6.     Pertumbuhan
Jabon merupakan jenis tanaman lokal Indonesia yang tergolong pohon cepat tumbuh dapat tumbuh di berbagai tipe tanah (Redaksi Trubus, 2010). Dalam pertumbuhannya jabon membutuhkan cahaya yang cukup. Riap tahunan sampai tanaman berumur 6 – 8 tahun adalah 7 cm/tahun, dan akan menurun menjadi 3 cm/ta`hun sampai tanaman berumur 20 tahun. Setelah umur 20 tahun pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat. Rata-rata riap volume per tahun adalah 10 sampai 26 m3/tahun. Untuk bahan baku industri pulp, jabon dapat dipanen pada umur 4 – 5 tahun setelah tanam, sedangkan untuk industri kayu pertukangan biasanya ditebang pada umur 10 tahun. Setelah berumur sekitar 30 tahun, jenis ini dapat mencapai tinggi rata-rata 38 meter dan diameter rata-rata 65 cm (Soerianegara & Lemmens, 1994 dalam Pratiwi, 2003). Sudarmo (1957) dalam Krisnawati et al. (2011) melaporkan bahwa A. cadamba tumbuh di beberapa lokasi di Jawa umumnya mencapai volume maksimum rata-rata selisih tahunan (MAI) 20 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun dalam kualitas yang cukup baik, menghasilkan 183 m3/ha setiap rotasi. Dalam kualitas yang sedang, volume MAI 16 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun menghasilkan 145 m3/ha. Dalam kualitas yang rendah, yang menghasilkan volume total sekitar 105 m3/ha pada umur 9 tahun dengan volume MAI maksimum 15 m3/ha/tahun tidak hanya mencapai umur 9 tahun bahkan sampai umur 24 tahun. Pada umur 24 tahun, volume maksimum MAI hanya bisa mencapai 13 m3/ha/tahun.

7.     Status Fungi Mikoriza pada Tanaman Jabon
Berdasarkan hasil review Wang and Qiu (2006) ditemukan sekitar 2.469 dari 3.617 jenis tanaman yang berasosiasi dengan FMA, 55 jenis diantaranya adalah jenis yang termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)Miq.) yang termasuk dalam famili Rubiaceae tidak termasuk dalam 55 jenis yang sudah diketahui asosiasi dan respon pertumbuhannya terhadap inokulasi FMA. Hal ini menunjukan bahwa informasi penelitian internasional maupun nasional tentang asosiasi simbiotik FMA dengan jenis tersebut masih kurang. Berdasarkan hasil penelitian Hildalita (2009) mengemukakan bahwa mikoriza yang menginfeksi akar semai jabon tidak diketahui jenisnya karena mikoriza yang menginfeksi adalah mikoriza yang berkembang secara alami tanpa adanya penambahan inokulum.

Daftar Pustaka
Darwo, 1994. Studi Pendahuluan Pembuatan Batang Korek Api dari Jabon. Buletin Penelitian Kehutanan 10 (1) : 13 – 29. BPK Pematang Siantar.
Hildalita, 2009. Penggunaan Sludge Pabrik Kopi dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq). Abstrak Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Diakses 22 Maret 2011.
Krisnawati, H., Maarit K., dan Markku K., 2011. Anthochepalus cadamba Miq. Ecology, Silviculture and Productivity. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Listyanto, 2010. Budidaya Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) Menggunakan Bio P 2000 Z. Seri Kehutanan PT. Alam Lestari Maju Indonesia.
Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nair, K.S.S., 2000. Insect Pest and Disease in Indonesian Forest. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Pratiwi, 2003. Prospek Pohon Jabon untuk Pengembangan Hutan Tanaman. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 1 Tahun 2003, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Redaksi Trubus, 2010. Jabon Jagoan Kayu Produktif. PT. Trubus Swadaya. Jakarta.
Sapulete, E., Kapisa, N., 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Buletin Penelitian Kehutanan 10 (3) : 183 – 195. BPK Pematang Siantar.
Sedijoprapto, EI dan AR. Dewi, 2001. Arboretum Manggala Wanabakti: Tanaman Delegasi WFC VIII, Tinjauan Literatur. Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti Pusdokinfo, Museum dan Taman Hutan. Jakarta.
Wang B and Y.-L.Qiu. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizasin land plants. Mycorrhiza 16: 299–363