Rabu, 27 April 2011

SILVIKULTUR JABON (Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq.)

Oleh :
MUH. RAMDIN TAHIR
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Faperta, Unhalu, Kendari)

1.     Deskripsi Umum
Berdasarkan klasifikasinya, jabon {Anthochepalus cadamba (Roxb.) Miq. Syn.  Anthochepalus chinensis (Lamk.)} termasuk ke dalam famili Rubiaceae (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon merupakan salah satu jenis asli Indonesia dan memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan karena jabon termasuk pohon cepat tumbuh,  dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, tidak memiliki hama dan penyakit yang serius, dan ketersediaan pengetahuan silvikulturnya cukup lengkap (Pratiwi, 2003).
Tinggi pohon jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang bebas cabang 30 m, diameter dapat mencapai 160 cm. batangnya lurus dan silindris,  bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,50 m. Kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Daunnya tunggal, panjang tangkai 1 ½ - 4 cm, helaian daun berbentuk ellips atau lonjong, kadang hampir bundar. Bunganya cukup besar, semacam bunga bongkol, diameter 4 ½ - 6 cm. Buah panjangnya 6 mm diliputi daun kelopak, bagian bawahnya agak lunak, berbiji banyak (Tantra, 1981 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).
Kayu jabon dapat dipakai untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom dan konstruksi darurat yang ringan (Martawijaya, 1989 dalam Sedijoprapto dan Dewi, 2001).

2.     Habitat dan Sebaran
Jabon memiliki sebaran alami yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenajung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Cina, dan Australia. Di Indonesia sendiri, jabon ternyata memiliki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Di Maluku, terdapat sebaran jabon jenis A. macrophyllus yang dikenal dengan sebutan jabon merah (Mansur dan Tuheteru, 2010).
Jenis ini umumnya tumbuh di tanah-tanah alluvial lembab di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Di samping itu jabon dapat tumbuh dengan baik di tanah liat, tanah lempung Podzolik coklat, tanah tuf halus atau tanah berbatu yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai kering dengan tipe curah hujan A sampai D menurut Schmidt dan Ferguson (1951), mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Martawidjaja, et al., 1989 dalam Pratiwi, 2003). Umumnya jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan dijumpai di dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit. Jabon juga dapat tumbuh secara alami di lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat yang memang kondisinya ekstrim, yaitu di tanah dengan pH yang rendah (pH 4) dan tidak subur, terendam, serta kondisi lingkungan yang sangat terbuka dengan suhu yang relatif tinggi. Jabon pun potensial sebagai alternatif dari tanaman sengon dan akasia yang telah lebih dahulu menjadi jenis utama tanaman untuk rehabilitasi lahan bekas tambang (Mansur dan Tuheteru, 2010). Jabon tumbuh di daerah beriklim basah – kering dengan rata – rata temperatur tahunan antara 21 sampai 26oC. Curah hujan tahunan antara 1500 mm sampai 5000 mm atau lebih. Jabon tahan musim kemarau sampai 3 bulan tanpa mengalami banyak kerusakan (Meyenfeld, dkk., 1978 dalam Sapulete dan Kapisa 1994).

3.     Perbenihan
   3.1    Pengadaan Benih
            3.1.1      Sumber Benih
           Di tempat tumbuh dimana pohon penghasil biji cukup tersedia, permudaan alam dari biji dapat di atur dengan cara membersihkan tanah di bawah pohon biji pada waktu buah sudah kelihatan matang. Biji-biji akan jatuh dan tumbuh di tempat yang telah dibersihan (Sapulete dan Kapisa, 1994)
           Benih (biji yang akan digunakan untuk produksi bibit) idealnya berasal dari pohon induk yang baik, yakni antara lain memiliki ciri berbatang lurus dan bulat dengan bebas cabang yang tinggi dan terbebas dari hama/penyakit (Mansur dan Tuheteru, 2010).          
            3.1.2      Biologi Reproduksi
Pohon Jabon berbuah setiap tahun pada bulan Juni sampai Agustus. Buah mengandung biji yang sangat kecil, dengan jumlah biji kering udara 18 – 26 juta butir per kg. Sedangkan jumlah buah 33 butir per kg atau 320 butir per kaleng minyak tanah (Pratiwi, 2003).
           Jabon berbuah setahun sekali saat musim berbunganya, yakni pada bulan Januari – Juni dan akan masak pada bulan Maret – Juni dengan jumlah buah majemuk 33 buah per kg. Buah jabon berbentuk bulat dengan ukuran 4,5 – 6 cm, memiliki ruang-ruang biji yang sangat banyak layaknya buah majemuk seperti keluwih/nangka yang berukuran kecil dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji. Setiap ruang biji tersebut berisi banyak biji (Mansur dan Tuheteru, 2010).

3.2   Penanganan Benih
3.2.1   Pengumpulan Benih : Bibit diperoleh dari buah yang sudah tua / masak yang diambil dengan cara memanjat dan memetiknya dari pohon atau dengan cara memungut buah yang sudah jatuh (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.2   Ekstraksi Benih : Buah-buah pilihan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam karung atau keranjang untuk dibawa ke tempat ekstraksi dan dihamparkan di atas lantai beralaskan plastik atau tikar. Jika buah akan dikirim ke lokasi yang jaraknya jauh dan memerlukan waktu beberapa hari, sebaiknya buah dicacah lalu dijemur terlebih dahulu selama 1 – 2 hari agar kering dan buah tidak busuk. Biji jabon dapat diekstrak dengan dua cara, yaitu melalui ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Dengan ekstraksi kering, kermurnian benih kurang dari 50% karena tercampur dengan serbuk dari daging buah. Selain itu, pada ekstraksi kering, sering kali sulit untuk membedakan antara biji dengan serbuk daging buah yang berukuran sama. Sementara itu, dengan ekstraksi basah, kemurnian benih bisa mencapai 100% dan biji dapat dilihat dengan jelas (Mansur dan Tuheteru, 2010).
3.2.3   Penyimpanan Benih : Secara teoritis, benih dapat disimpan selama kurang lebih setahun, yakni bila disimpan dalam wadah kantong plastik, di lemari pendingin, atau di tempat yang tertutup rapat dalam ruangan sejuk. Benih yang disimpan pada kondisi tersebut selama 9 bulan mempunyai daya berkecambah 1.234,5 kecambah/0,1 g, sedangkan benih yang disimpan selama 18 bulan daya kecambahnya 314/0,1 g. Namun, untuk hasil yang memuaskan, sebaiknya penyimpanan benih tidak terlalu lama, yakni tidak lebih dari tiga bulan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Dalam Sapulete dan Kapisa (1994) mengemukakan bahwa untuk mempertahankan viabilitas biji sebaiknya disimpan dalam kotak kedap udara dingin dan ditempatkan dalam suhu ruangan yang stabil. Biji juga dapat disimpan dalam freezer bertemperatur 3 – 5oC (untuk lama penyimpanan kurang dari 3 tahun) atau -4 sampai 10oC (untuk penyimpanan biji lebih dari 3 tahun).
3.2.4   Hama dan Penyakit Benih : Hama yang sering menyerang bibit di persemaian antara lain semut (fam. Formicidae), bekicot dan penyakit damping off oleh cendawan Fusarium spp., Rhizoctonia spp., dan Pythium spp. Sedangkan di lapangan hama jabon adalah rusa, banteng, rayap batang dan ulat kukuk (di akar), sementara sumber penyakit berasal dari cendawan Gloosperium anthocephali (mati pucuk) dan Margaraniopsis tocalis (gugur daun) (Pratiwi, 2003) dan Armillaria sp. (busuk akar) (Darwo, 1994). Menurut Nair (2000), salah satu hama yang menyerang tanaman jabon adalah serangga Margaronia sp.
3.2.5   Perlakuan Pendahuluan dan Perkecambahan : Biji-biji yang telah disimpan untuk jangka waktu lama (misalnya 2 bulan) lebih baik berkecambah di bawah cahaya matahari langsung. Ini dimaklumi karena biji jabon memang memerlukan cahaya matahari penuh untuk proses perkecambahan. Biji jabon mulai berkecambah pada hari ke 12 – 20 setelah penaburan. Persentase berkecambah dari biji segar yang langsung ditabur adalah rendah yaitu 25%; melalui stratifikasi dan ekstraksi kemudian disimpan selama 2 bulan di dalam kontainer kedap udara dapat meningkatkan persen kecambah hingga 90% (Sapulete dan Kapisa, 1994).

4.     Pembibitan
        4.1    Pengadaan bibit secara generatif
         Perbanyakan bibit secara generatif bisa dilakukan melalui biji. Media perkecambahan benih jabon berupa campuran pasir dan tanah halus (1:1) yang disterilkan dengan cara disangrai selama 2 jam atau disterilkan dengan fungisida berdosis rendah (50 ml/l air). Media disiram sampai jenuh dan ditaburi benih pada bak tabor. Dalam penaburan biji jabon, sebaiknya biji dicampur dengan pasir halus (1:10) agar benih tersebar merata. Setelah 3 – 4 minggu berkecambah bibit hasil penyemaian sudah bisa dipindahkan ke dalam polibag ukuran 10 cm x 15 cm atau 15 cm x 25 cm yakni saat bibit berukuran 3 – 5 cm atau telah memiliki daun empat lembar. Media polibag adalah campuran pasir : tanah : kompos  (2:7:1) dengan kisaran pH 4 – 5. Bibit yang harus disapih ditempatkan pada bedengan persemaian yang diberi naungan sekitar 65% dan secara berkala dikurangi intensitas naungannya. Pemupukan dilakukan setelah bibit berumur 2 minggu, yakni menggunakan pupuk NPK cair (5 g/l air) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
4.2    Pengadaan bibit secara vegetatif
Perbanyakan vegetatif  jabon dapat dilakukan dengan teknik stek pucuk dan stek batang serta kultur jaringan.
        4.3    Pengadaan bibit anakan alam
         Pengadaan bibit dari anakan alam dapat dilakukan dengan cabutan dan stump. Di tingkat lokal, khususnya pada tingkatan masyarakat yang masih belum mengerti teknik budidaya dengan benih, hingga saat ini masih banyak orang yang menggunakan cabutan anakan alami yang memang tumbuh di sekitar pohon induk atau terbawa air atau hewan seperti kelelawar (Mansur dan Tuheteru, 2010).

5.     Penanaman
5.1    Persiapan lahan, penyiapan lahan merupakan kegiatan yang sangat penting yang turut menentukan produktivitas tanaman jabon dalam jangka panjang. Kegiatannya meliputi pembukaan lahan, penentuan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon dan menebas semak belukar serta menyingkirkannya dari lahan penanaman. Penyiapan lahan berupa pembersihan dari semak belukar dan dibajak sebelum musim hujan antara bulan Mei sampai Agustus. Penyiapan lahan dapat dilakukan secara mekanis ataupun manual. Pengolahan tanah secara manual mampu memberikan hasil yang memuaskan, yaitu persentase pertumbuhan 98% (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.2    Penanaman, penanaman sebaiknya dilakukan di awal musim hujan, dan pada pagi hari pukul 07.00-11.00, dilanjutkan lagi pada sore hari pukul 14.00-17.00. Penanaman dilakukan setelah frekuensi hujan cukup tinggi dan tanah telah basah. Teknik menanam jabon yang benar, yakni dengan memasukkan tanah yang telah dicampur dengan kompos dan pupuk NPK ke lubang tanam, memadatkan media dalam polibag secara hati-hati, melepas polibag secara hati-hati, menanam bibit di lubang tanam dan memasang penyangga (Mansur dan Tuheteru, 2010).  Jarak tanam 3 x 2 m atau 5 x 5 m tergantung tujuan penanaman, murni atau tumpangsari dengan lubang tanam 30 x 30 x 30 cm atau 40 x 40 x 40 cm tergantung kondisi tanah (Listyanto, 2010). Penanaman jabon dapat dilakukan secara monokultur (lahan hanya digunakan untuk penanaman pohon jabon saja) atau dengan pola tumpang sari/agroforestry (penanaman pohon jabon bersama-sama dengan tanaman pertanian atau tanaman pakan ternak) (Mansur dan Tuheteru, 2010).
5.3    Pemeliharaan, kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan, penyiraman, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit serta penjarangan. Kegiatan penyiangan cukup dilakukan sampai jabon berumur satu tahun karena dalam waktu 1 tahun tinggi jabon sudah mencapai 5 – 8 m. Penyiangan dapat dilakukan secara manual (pembabatan) atau dengan aplikasi herbisida (dosis 100 ml/10 liter air). Pemupukan diprioritaskan pada pohon-pohon yang tertinggal pertumbuhannya (pemupukan selektif). Penjarangan pertama dapat dilaksanakan pada umur 3 tahun setelah penanaman. Rotasi penjarangan berikutnya disesuaikan dengan kebutuhan (Mansur dan Tuheteru, 2010). Menurut Listyanto (2010), penjarangan dilakukan jika tajuk sudah bersentuhan secara rapat.

6.     Pertumbuhan
Jabon merupakan jenis tanaman lokal Indonesia yang tergolong pohon cepat tumbuh dapat tumbuh di berbagai tipe tanah (Redaksi Trubus, 2010). Dalam pertumbuhannya jabon membutuhkan cahaya yang cukup. Riap tahunan sampai tanaman berumur 6 – 8 tahun adalah 7 cm/tahun, dan akan menurun menjadi 3 cm/ta`hun sampai tanaman berumur 20 tahun. Setelah umur 20 tahun pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat. Rata-rata riap volume per tahun adalah 10 sampai 26 m3/tahun. Untuk bahan baku industri pulp, jabon dapat dipanen pada umur 4 – 5 tahun setelah tanam, sedangkan untuk industri kayu pertukangan biasanya ditebang pada umur 10 tahun. Setelah berumur sekitar 30 tahun, jenis ini dapat mencapai tinggi rata-rata 38 meter dan diameter rata-rata 65 cm (Soerianegara & Lemmens, 1994 dalam Pratiwi, 2003). Sudarmo (1957) dalam Krisnawati et al. (2011) melaporkan bahwa A. cadamba tumbuh di beberapa lokasi di Jawa umumnya mencapai volume maksimum rata-rata selisih tahunan (MAI) 20 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun dalam kualitas yang cukup baik, menghasilkan 183 m3/ha setiap rotasi. Dalam kualitas yang sedang, volume MAI 16 m3/ha/tahun pada umur 9 tahun menghasilkan 145 m3/ha. Dalam kualitas yang rendah, yang menghasilkan volume total sekitar 105 m3/ha pada umur 9 tahun dengan volume MAI maksimum 15 m3/ha/tahun tidak hanya mencapai umur 9 tahun bahkan sampai umur 24 tahun. Pada umur 24 tahun, volume maksimum MAI hanya bisa mencapai 13 m3/ha/tahun.

7.     Status Fungi Mikoriza pada Tanaman Jabon
Berdasarkan hasil review Wang and Qiu (2006) ditemukan sekitar 2.469 dari 3.617 jenis tanaman yang berasosiasi dengan FMA, 55 jenis diantaranya adalah jenis yang termasuk dalam famili Rubiaceae. Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.)Miq.) yang termasuk dalam famili Rubiaceae tidak termasuk dalam 55 jenis yang sudah diketahui asosiasi dan respon pertumbuhannya terhadap inokulasi FMA. Hal ini menunjukan bahwa informasi penelitian internasional maupun nasional tentang asosiasi simbiotik FMA dengan jenis tersebut masih kurang. Berdasarkan hasil penelitian Hildalita (2009) mengemukakan bahwa mikoriza yang menginfeksi akar semai jabon tidak diketahui jenisnya karena mikoriza yang menginfeksi adalah mikoriza yang berkembang secara alami tanpa adanya penambahan inokulum.

Daftar Pustaka
Darwo, 1994. Studi Pendahuluan Pembuatan Batang Korek Api dari Jabon. Buletin Penelitian Kehutanan 10 (1) : 13 – 29. BPK Pematang Siantar.
Hildalita, 2009. Penggunaan Sludge Pabrik Kopi dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq). Abstrak Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Diakses 22 Maret 2011.
Krisnawati, H., Maarit K., dan Markku K., 2011. Anthochepalus cadamba Miq. Ecology, Silviculture and Productivity. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Listyanto, 2010. Budidaya Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) Menggunakan Bio P 2000 Z. Seri Kehutanan PT. Alam Lestari Maju Indonesia.
Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nair, K.S.S., 2000. Insect Pest and Disease in Indonesian Forest. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Pratiwi, 2003. Prospek Pohon Jabon untuk Pengembangan Hutan Tanaman. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. 4 No. 1 Tahun 2003, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Redaksi Trubus, 2010. Jabon Jagoan Kayu Produktif. PT. Trubus Swadaya. Jakarta.
Sapulete, E., Kapisa, N., 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Buletin Penelitian Kehutanan 10 (3) : 183 – 195. BPK Pematang Siantar.
Sedijoprapto, EI dan AR. Dewi, 2001. Arboretum Manggala Wanabakti: Tanaman Delegasi WFC VIII, Tinjauan Literatur. Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti Pusdokinfo, Museum dan Taman Hutan. Jakarta.
Wang B and Y.-L.Qiu. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizasin land plants. Mycorrhiza 16: 299–363






KEBIJAKAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Oleh :
MUH. RAMDIN TAHIR
(Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Faperta, Unhalu, Kendari)


I. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Hutan mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan strategi pembangunan jangka panjang kehutanan tersebut, hutan yang sudah tidak produktif meliputi lahan tandus bekas hutan tebangan, rimba karet, hutan-hutan bakau, beberapa kepemilikan karet skala kecil, perkebunan sawit, dan padang rumput maka untuk mengoptimalkan fungsinya kembali pemerintah memanfaatkan hutan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan hasil utama kayu (sebagai bahan baku pulp dan paper). Hal tersebut telah mampu menarik banyak investor karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga pengelolaannya dilakukan oleh swasta (pengusaha).
Indonesia memiliki sumberdaya hutan yang luas, namun dari tahun ke tahun kondisi hutan di Indonesia semakin habis, sementara usaha untuk melakukan reboisasi tidak sebanding dengan hutan yang diambil. Habisnya hutan ini, diperburuk lagi dengan kegiatan illegal logging oleh masyarakat sekitar hutan dan warga provinsi tetangga yang dimotori oleh para cukong. Adanya aksi illegal logging itu secara tak langsung berkaitan dengan akses jalan, parit atau kanal yang dibuka perusahaan yang mempunyai izin HPH dan HTI.
Selama ini pemberian izin untuk HTI sudah tidak terkendali dan banyak yang bermasalah karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut diperparah dengan lemahnya kontrol di lapangan sehingga terjadi kasus pembalakan liar yang menyeret pihak perusahaan HTI sebagai tersangka. Selain itu, penghentian tersebut dinilai dapat meredam munculnya konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat. Selama ini banyak permasalahan yang timbul karena tanah adat dialihfungsikan menjadi HTI.
Menurut PP Nomor 7 Tahun 1990 mengenai hak pengusahaan hutan tanaman industri, HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). Adanya pembangunan HTI maka diharapkan dapat menyelamatkan hutan alam dari kerusakan karena HTI merupakan potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, dimanfaatkan secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk kesejahteraan penduduk.
Pembangunan HTI mempunyai 3 sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya harus memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat di sekitar kawasan HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak dan stakeholder yang terlibat, salah satunya adalah masyarakat tepatnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Adanya peran dan partisipatif dari masyarakat sekitar, baik dalam memberikan dukungan material maupun nonmaterial serta bekerjasama dengan pihak lainnya yang terlibat dapat memperlancar dan mempercepat pelaksanaan pembangunan HTI. Oleh karena itu, masyarakat di sekitar kawasan hutan tentu akan terkena pengaruh dari pembangunan HTI baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Pembangunan dan pengelolaan HTI dalam skala luas dan jangka panjang adalah salah satu mekanisme untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat salah satunya yaitu dengan menyediakan lapangan kerja. Pengelolaan masyarakat dipusatkan pada kemampuan badan usaha menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha bagi masyarakat. Menurut Iskandar (2005), menyatakan bahwa ada tiga elemen primer penyediaan kesempatan kerja oleh badan usaha pembangunan HTI yakni, bekerja langsung pada perusahaan, bekerja pada perusahaan kontraktor usaha, dan bekerja untuk melayani para pekerja perusahaan.
Hubungan timbal balik antara masyarakat dengan sumberdaya hutan sebelum adanya kawasan HTI merupakan satu kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi, maka perlu diupayakan suatu model pembangunan kehutanan yang dipadukan dengan upaya pemenuhan kebutuhan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat ini pada umumnya masih rendah. Ada beberapa persyaratan untuk manajemen hutan yang baik. Yang pertama adalah kemampuan yang memasok bahan baku secara lestari dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan pabrik. Yang kedua pasokan bahan baku tersebut dalam kualitas yang dapat diterima pabrik dan syarat yang ketiga pasokan kayu dikirimkan dalam waktu yang telah disepakati. Syarat keempat bahwa harganyapun harus kompetitif agar harga produk akhir masih kompetitif di pasar global dan domestik dan syarat kelima adalah bahwa usaha itu harus dapat memperbaiki kesempatan kerja masyarakat sekitar kawasan HTI sekaligus memperbaiki iklim usaha seluruh kelompok masyarakat dan kelompok professional serta syarat yanag keenam adalah bahwa program pembangunan HTI harus mampu memperbaiki lingkungan. Hal ini dimanifestasikan lebih lanjut dengan pengaturan tata ruang kawasan HTI dengan menyisihkan sekitar 10% untuk membangun mempertahankan kawasan konservasi yang mungkin ada. 
Dari penjelasan di atas secara tersirat bahwa dengan terbitnya PP Nomor 7  Tahun 1990 mengubah orientasi dari rimbawan non-komersial dan rimbawan non-industri ke rimbawan komersial sekaligus rimbawan industri. Dengan program HTI nampak ada usaha yang lebih sungguh-sungguh dari pemerintah untuk membuat rehabilitasi hutan dan lahan yang rusak dan kritis dapat diarahkan agar komersial, tanpa mengabaikan perbaikan pada elemen sosial dan elemen lingkungan. Oleh karena itu, perlunya kebijakan pemerintah untuk memperbaiki elemen tersebut dengan melalui Hutan Tanaman Industri (HTI).

1.2 Rumusan Masalah
            Permasalahan dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
a.       1. Kriteria apa saja keberhasilan HTI ?
b.     2. Bagaimana kinerja implemenatasi HTI sebagai sebuah kegiatan ekonomi, HTI sebagai pusat pembangunan   
        kutub pertumbuhan (growt pole) daerah, HTI untuk memperbaiki mutu lingkungan dan HTI untuk  
         kesejahteraan masyarakat ?
c.     3.   Kendala apa saja yang dihadapi dalam pembangunan HTI ?

II. PEMBAHASAN

2.1  Kriteria Keberhasilan Hutan Tanaman Industri (HTI)
Kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang HPHTI dapat dipandang sebagai kriteria untuk menilai kinerja pembangunan HTI. Semuanya terdapat di dalam                       PP 7/1990, sebagai dasar hukum bagi dibangunnya HTI. Di dalam perkembangannya,   PP 7/1990 di cabut oleh PP 6/1999 dimana PP 6/1999 ayang semula hutan tanaman industri, berubah menjadi hutan tanaman tanpa ada industri di dalamnya. Selanjutnya PP 6/1999 dicabut oleh PP 34/2002 yang sama sekali menghilangkan aktivitas membangun dan mengelola hutan tanaman. Karena badan usaha ini mendapat izin di awal tahun 1990-an, kriteria yang berlaku adalah yang dikembangkan pada tahun 1990. Berdasarkan pada PP 7/1990, dapatlah disusun kriteria dan indikator keberhasilan pembangunan hutan tanaman. Indikator adalah elemen atau faktor yang terukur (bersifat kuantitatif) atau terdeskripsi secara kualitatif yang dapat diubah menjadi semi kuantitatif. Untuk menyusun kinerja keberhasilan pembangunan HTI data atau informasi sebaiknya bersifat kuantitatif.
Unsur-unsur kuantitatif dan kualitatif dapat dilihat pada PP 7/1990 tersebut, yang menegaskan bahwa pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri wajib untuk :
1.       Menyusun Rencana Karya Pengusahaan HTI selambat-lambatnya 18 bulan sesudah diterbitkannya SKHPHTI;
2.       Membuat Rencana Karya Tahunan yang dilakukan setiap tahun selama jangka Hak;
3.       Melaksanakan penataan batas kawasan;
4.       Mengelola kawasan pengusahaan HTI berdasarkan Rencana Karya Tahunan dan mentaati segala ketentuan yang berlaku;
5.       Dalam jangka waktu lima tahun sudah menanam sedikitnya sepersepuluh dari luas kawasan yang diberikan;
6.       Selambat-lambanya dalam jangka waktu 25 tahun sudah menanami seluruh kawasan yang diberikan dalam SK HPHTI;
7.       Membayar iuran HPHTI dan iuran hasil hutan atas hutan yag dipungut di kawasan HTI;
8.       Segera menanami kembali setelah melakukan penebangan sesuai dengan aketentuan yang beralaku.
Kriteria yang lain diperoleh dari sanksi pencabutan HPHTI yang ditetapkan dalam pasal yang ditetapkan dalam pasal 18 PP itu, yaitu bila :
1.       Tidak secara nyata melakukan usaha, dalam waktu 12 bulan sesudah diterbitkannya SK HPHTI;
2.       Tidak menyerahkan Rencana Karya Pengusahaan (RKPHTI) dan Rencana Karya Tahunan (RKTHTI);
3.       Meninggalkan kawasan selama 24 bulan berturut-turut sebelum HPHTI berakhir;
4.       Tidak membayar Iuran HPHTI dan Iuran Hasil Hutan;
5.       Oleh Menteri dinilai gagal akibat kelalaian dalam membangun HTI, setelah lebih dari lima tahun asejak terbitnya SK HPHTI;
6.       Tidak melakukan penanaman kembali selama 24 bulan sesudah penebangan;
7.       Menyalahi ketentuan yang berlaku dan melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerusakan hutan tanaman.
Selanjunya, satu indikator yang dapat dianggap penting adalah pengembalian pinjaman yang berasal dari Dana Reboisasi (DR). Berdasarkan SK Menteri No. 375/Kpts-II/1996 telah diatur jadwal pengembalian pinjaman DR berbunga komersial bagi perusahaan patungan, yaitu dimulai tebangan tahun pertama. Bila seluruh pinjaman komersial telah dibayar, langkah berikutnya adalah mengembalikan pinjaman berbunga non persen. Pasal-pasal itu bersifat absolut sebagai petunjuk kerja bagi pelaksanaan HTI yang baik dan mematuhi hukum.
Hampir semua indikator bersifat teknik karena indikator finansial tidak berlaku mengingat program HTI adalah ide Departemen Kehutanan dan badan usaha swasta bersama BUMN adalah pelaksanaannya.

2.2  Kinerja Implementasi Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
2.2.1  HTI sebagai sebuah kegiatan ekonomi
Tujuan utama pembangunan HTI adalah secara lestari memproduksi kayu bulat dari hasil HTI pada kawasan hutan yang telah ditunjuk dan ditetapkan dengan pertimbangan pembangunan HTI adalah untuk :
1.      Meningkatkan produktivitas kawasan hutan produksi tetap yang kurang produktif sebagai kawasan pembangunan hutan tanaman industri.
2.    Meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
3.    Menjamin lestarinya persediaan bahan baku industri.
4.    Melaksanakan silvikultur intensif, yaitu tebang habis dengan penanaman kembali.
Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, HTI tidak menarik bagi swasta. Tidak menariknya pola ini karena HTI dibangun pada kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif, bahkan cenderung kawasan kritis. Untuk menarik usaha pembangunan HTI skema pendanaan ditawarkan berupa Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan pinjaman dengan bunga nol persen. Penyertaan DR untuk membiayai pembangunan HTI itu diatur dengan keputusan bersama (SKB) antara Menteri Kehutanan (No. 169/Kpts-II/90) dan Menteri Keuangan (No. 456/KMK.013/90, tanggal 11 April 1990. SKB itu diperbaharui tahun 1994. Dana pemerintah itu diperoleh dari pungutan Dana Jaminan Reboisasi yang kemudian diubah menjadi Dana Reboisasi (Kepres 29/1990). Intensif lain yang dikeluarkan kemudian adalah Izin Pemanfaatan Kayu (SK Menteri No. 227/Kpts-II/98 tanggal 27 Februari 1998) sebagai usaha pembersihan lahan hutan yang akan dikonversi menjadi hutan tanaman. Izin ini sesungguhnya telah mengingkari esensi pembaangunan HTI untuk memperbaiki produktivitas lahan hutan yang rusak, hutan rawang dan padang alang-alang.
Kesejahteraan pelaku manajemen HTI bergantung pada nilai ekspornya. Faktor pokok yang lain adalah bahwa hutan tanaman produknya harus lestari (sustainable). Evans (1999) menyatakan bahwa perbaikan genetik tanaman rotasi kedua dan perbaikan teknik silvikultur dapat menjamin kelestarian tersebut. Modernitas manajemen HTI dituntut untuk selalu melakukan perbaikan genetik untuk mencegah berkurangnya pasokan ke pabrik. 
2.2.2 HTI sebagai pusat pembangunan kutub pertumbuhan (growth pole) daerah
Untuk HTI sebagai pusat pembangunan kutub pertumbuhan (growth pole) daerah maka diambil salah satu contoh perusahaan HTI yaitu PT. Musi Hutan Persada yang terletak di Sumatera Selatan yang telah memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah tersebut. Salah satu diantaranya adalah perannya menyumbang pada Pendapatan Asli Daerah berupa pajak perseroan, retribusi dan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan insidentil, antara lain untuk menyumbang penyelengaraan PON-2004. Peran ini dinilai murni tanpa ada kebocoaran untuk mengimpor bahan baku dan bahan penolong proses produksi.
Peran kedua adalah dalam penyediaan kesempatan kerja, baik bagi pekerja tetap maupun pekerja borongan. Sebagian besar pekerjaan diborongkan dan para pemborong telah membaik ekonominya secara sangat nyata. Misalnya seoarang pemborong yang semula tak bermodal sekarang memiliki tiga kendaraan, satu untuk pribadi, satu truk untuk pekerjaan pemborongan dan satu bus melayani rute setempat.
Disamping manfaat ekonomi dari pembangunan HTI, manfaat sosial yang diciptakannya adalah memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha termasuk usaha yang mendukung usaha pokok yaitu pembangunan HTI. Perluasan kesempatan kerja juga memperluas landasan ekonomi dan sekaligus membuat diaversifikasi usaha bagi para pelakunya.
2.2.3 HTI untuk memperbaiki mutu lingkungan
Perubahan bentang alam yang semula padang alang-alang dan semak belukar ke hutan tanaman apalagi dalam bentangan yang sangat luas, dipastikan membawa perubahan kualitas lingkungan. Semula tanah yang terbuka dan terdegradasi menjadi tertutup dan bertambahnya mulsa dari dedaunan tanaman industri yang dipastikan akan memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Penurunan kesuburan lahan karena kebakaran yang berulang setiap tahun pada alang-alang akan dihentikan, daya serap atau daya simpan tanah terhadap air akan membaik. Apalagi dalam proses pembangunan HTI, baik dalam pembangunan kawasan persemaian maupun pembangunan tanaman mengharuskan dibangun embung persediaan air. Dalam jangka panjang embung ini dapat berperan sebagaia waduk kecil penampung air hujan dan air yang mengalir di permukaan. Di musim kemarau air tampungan akan berguna untuk menjaga kadar air tanah, sebelum mongering. Di samping itu, perakaran hutan tanaman diduga mampu berperan menahan tanah untuk tidak terhanyutkan oleh air aliran permukaan.
Secara makro, pengaruh positif HTI terhadap lingkungan dapat dideteksi dan dipantau dari berkurangnya banjir, terhindarnya longsor ataua menggenangnya air di pemukiman sepanjang sungai, terutama pada sungai-sungai yang melintas dia tengah-tengah kawasan hutan. Dampak hamparan hutan tanaman adalah membaiknya kondisi hidrologis yang dapat menahan erosi dan mencegah banjir.
Pada perusahaan HTI di PT. Musi Hutan Persada diperoleh definisi bahwa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah reforestasi menurut FAO yang menyatakan bahwa itu adalah kegiatan membangun kembali sosok fisik hutan, sesudah terbuka minimal sepuluh tahun baik oleh sebab alami maupun sebab gangguan manusia. Selain itu, HTI tersebut masuk dalam kelompok rehabilitasi lahan hutan rusak sebagai akibat daria pembalakan yang berlebihan, manaajemen lingkungan yang buruk, kebakaran yang berulang, dan kegiatan penggunaan lahan yang amerusaka kesuburan tanah yang semuanya itu menghambat pembentukan kembali hutan secara alami. Seandainya pemerintah tidaka mengharuskan pengusaha HTI membangun kawasan konservasi, yang tegakannya tidak boleh diganggu , kawasana itu dapat ditanami dengan tanaman pokok yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Untuka menjaga biodiversitas pada HTI yang monokultur, memiliki kawasan konservasi dan mempertahankan spesies-spesies local pada sempadan sungai sangat diperlukan.
2.2.4  HTI untuk kesejahteraan masyarakat
2.2.4.1  Pembangunan masyarakat desa hutan (PMDH)
Untuk memenuhi keputusan Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/1997 (14 Agustus 1997) tentang Pembinaan Masyarakat Hutan Desa, perusahaan HTI di PT. Musi Hutan Persada melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.      Membangun HTI-Transmigrasi,
2.      Mengembangkan tumpang sari,
3.      Membina usaha tani,
4.      Melakukan peningkatan keterampilan,
5.      Membina pendidikan,
6.      Menyediakan prasarana sosial ekonomi,
7.      Melakukan kegiatan sosial lain-lain.
2.2.4.2 Kinerja membangun hutan bersama masyarakat (MHBM)
Program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) yang dimulai tahun 1999 adalah sebuah pola penanaman HTI A. mangium yang :
1.      Memperkerjakan anggota masyarakat yang tergabung adalam sebuah kelompok menanam dan memelihara A. mangium sampai umur daur di dalam kawasan HPHTI;
2.      Kelompok masyarakat ini diperkerjakan karena semula mengklaim bahwa lahan HTI itu lahan warga.
3.      Dalam melaksanakan pekerjaan itu mereka dibayar untuk menanam dan memelihara dan mendapt bagian hasil dari bekerja di hutan (jasa produksi);
4.      Kelompok mereka memperoleh jasa manajemen atas HTI sebesar satu persen dari setiap nilai transaksi;
5.      Mereka juga memperoleh pendapatan dari produksi tumpang saari tiga komoditas agroferstry yaitu sayuran, penggemukan ternak, dan ikan;
6.      Untuk menghindarkan salah pengertian yang dapat mendorong terjadinya konflik, kegiatan tersebut diliput dalam sebuah nota kesepahaman dengan kelompok masyarakat.
2.2.4.3 Kinerja membangun hutan rakyat (MHR)
Program MHR juga dimulai pada tahun 1999 dengan ketentuan sebagai berikut :
1.      Menanam A. mangium pada lahan milik masyarakat di luar kawasan konsesi HTI, namun ter-enclave oleh hutan tanaman. Kawasan tersebut  mungkin berupa belukar, kebun karet, atau pemukiman sementara;
2.      Peserta MHR adapula anggota masyarakat yang semula menanam karet, namun melihat nilai perolehan yanag lebih besar dengan menanam A. mangium, dengan suka rela tanpa paksaan, mereka mengikuti program MHR;
3.      Perusahaan memberikan pinjaman kepada kelompok tani, dana memberi bimbingan usaha persiapan lahan, penanaman, pemeliaharaan tanaman dan pemanenan;
4.      Mereka mendapat bayaran pada setiap pekerjaan (jasa jerja), mendapat bagi hasil dari nilai bersih kayunya pada akhair daur, yaitu nilai kayu setelah dikurangi dengan biaya operasional. Bagi hasil ini adalah 60% untuk perusahaan dan sisanya 40% untuka peserta.
5.      Untuk meningkatkan kemampuan dalam menanam A. mangium, diundang pula keterlibatan LSM, seperti yang dilakukan pada MHBM.
Manfaat program ini adalah manfaat ekonomi berupa meningkatnya kesejahteraan masyarakat berkat adanya kepastian kerja dan kepastian hasil usaha, kepastian mendapat bagi hasil atas hasil akhir dan memperoleh berbagai bimbingan untuka meningkatkan keterampilan menanam.

2.3  Kendala Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
2.3.1  Inkonsisten Kebijakan
Disiratkan di dalam PP 7/1990, bahwa tujuan pembangunan HTI adalah membangun hutan industri untuka memasok bahan baku ke industri pulp. Karena itu, luasan yang diberikan adalah lima kali HTI untuk kayu konstruksi. Dari tujuan ini pula nampak bahwa pembentukana badan hukum patungan adalah untuk menarik sektor swasta yang alebih mampu mencari dana untuk membangun pabrik pulp.
 2.3.2 Kelancaran Aliran Dana Reboisasi
Kendala utama pembangunan HTI adalah berkurangnya pasokan dana dari pemerintah baik dalam bentuk PMP, pinjaman tanpa bunaga atau pinjaman bunga komersial. Kendala kedua adalah tersendatnya aliran masuk DR ke kantong Departemen Kehutanan, karena pembayaran DR ditentukan oleh industri pengolahan kayu hulu (IPKH). Kendala ketiga berkurangnya DR karena dilakukan berbagai alokasi yang keliru, tidak sesuai dengan peruntukannya. Kendala keempat adalaha berubahnya kebijakan pemerintah sebagai akibat dari menurunnya penerimaan dana. Kendala kelima adalah perubahan kebijakan pendanaan dengan DR dengan terbitnya PP 35/2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Dana Reboisasi.
2.3.3 Konflik Lahan
Konflik lahan adalah pernyataan tidak adanya kepastian hukum karena hukum dari pemerintah pusat tidak dihargai di kabupaten dan keduanya tidak dihargai oleh masyarakat. Konflik terjadi karena masyarakat sekita kawasan pembangunan HTI menuntut kembali lahan-lahan yang mereka anggap sebagai lahan warga. Disamping pengembalian lahan, mereka juga menuntut ganti rugi tanam tumbuh dan pembangunan fasilitas masyarakat. Namun ujung dari tuntutan adalah kehendak untuk diterima bekerja.
2.3.4 Bencana Kebakaran Hutan
Di perusahaan HTI di PT. Musi Hutan Persada sangat sadar bahwa musuh terbesar hutan adalah api, khususnya pada musim kemarau. Perusahaan HTI di PT. Musi Hutan Persada sudah mengembangkan sistem pengendalian api. Ada tiga unit kerja yang memiliki tanggung jawab khusus yaitu unit pengamatan, unit pelaporan/informasi/instruksi, dan unit pemadaman. Perusahaan juga telah menyiapkan kalender tahunan siapa api, yang memuat tata waktu siaga api dan kebakaran.

III. PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut :
a.    Kriteria keberhasilan HTI yaitu semuanya terdapat di dalam PP 7/1990, sebagai dasar hukum bagi dibangunnya HTI.
b. -    Kinerja implemenatasi HTI sebagai sebuah kegiatan ekonomi yaitu dengan tujuan memproduksi kayu bulat dari hasil HTI pada kawasan hutan yang telah ditunjuk dan ditetapkan dengan pertimbangan pembangunan HTI.
- HTI sebagai pusat pembangunan kutub pertumbuhan (growt pole) daerah yaitu memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah, menyumbang pada Pendapatan Asli Daerah berupa pajak perseroan, retribusi dan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan insidentil, penyediaan kesempatan kerja, baik bagi pekerja tetap maupun pekerja borongan memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha termasuk usaha yang mendukung usaha pokok yaitu pembangunan HTI.
-   HTI untuk memperbaiki mutu lingkungan yaitu tanah yang semula terbuka dan terdegradasi menjadi tertutup dan bertambahnya mulsa dari dedaunan tanaman industri yang dipastikan akan memperbaiki struktur dan kesuburan tanah.
-  HTI untuk kesejahteraan masyarakat yaitu dengan pembangunan masyarakat desa hutan (PMDH), pembangunan hutan bersama masyarakat, dan pembangunan hutan rakyat.
c.         Kendala yang dihadapi dalam pembangunan HTI yaitu inkosistensi kebijakan, kelancaran aliran dana   reboisasi, konflik lahan dan bencana kebakaran hutan